Masa Depan Keluarga Kita

2391.jpg

“Keluarga telah mati, kecuali pada tahun pertama atau tahun kedua selama mengasuh anak.” (William wolf – psikolog)

Para kritikus sosial sedang punya kesempatan baik berspekulasi tentang masa depan keluarga. “Keluarga akan mendekati titik kepunahan total,” kata Ferdinand Lunberg, pengarang The Coming World Transformation.

Dulu, ikatan keluarga amat mesra. Kekerabatan pun berlangsung sepanjang usia. Ayah, ibu, kakek dan nenek tiap hari kumpul bersama. Hidup damai, tenteram, tak tergesa-gesa. Itulah ciri peradaban masyarakat pertanian setiap negara.

Lalu masuk era industrialisasi, berubahlah suasana. Hubungan manusia dengan tempat pemukiman terancam sirna. Manusia pun mulai menjalani kehidupan serba keras, lapar, berbahaya, dan mengelana. Tapi kendati demikian, fungsi rumah (meski hanya sebuah gubuk) tetaplah jadi tempat berlindung utama.

Kepustakaan penuh dengan petunjuk yang baik tentang pentingnya rumah. “Seek home for rest, for home is best.” Carilah rumah untuk istirahat, sebab rumah itu paling ramah. Begitu nasehat Thomas Tussers dalam Instructions to housewifery, sebuah buku petunjuk abad ke-16. Yang lain lagi, “A man’s home is his castle …” (rumah seseorang adalah istananya).  ”Home, sweet home …” (rumahku, rumah yang manis). Begitu mesra hubungan manusia dengan rumahnya.

Lalu datang industrialisasi modern. Ia kian menuntut adanya massa pekerja yang siap dan mampu meninggalkan tanahnya untuk mencari pekerjaan dan pindah tempat berkali-kali. Ini berbeda sekali dengan masyarakat tani yang cenderung menetap menetap untuk jangka waktu yang lama. Revolusi industri mulai merenggangkan kasih mesra manusia dengan tempat tinggalnya.

Akibatnya, keluarga besar (extended family) termasuk di dalamnya ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek dan nenek, sedikit demi sedikit terpaksa “merampingkan tubuhnya”. Timbullah apa yang dinamakan “keluarga inti” (nuclear family). Itulah dia, suatu unit keluarga yang ringkas, portable (mudah dibawa) kemana-mana. Ia hanya terdiri dari suami, istri dan sejumlah kecil anak mereka. Keluarga ini, yang jauh lebih mobile sifatnya dari keluarga besar tradisional, jadi model standar di semua negara. Termasuk di Indonesia.

Dampaknya ternyata juga bukan hanya memperenggang hubungan manusia dengan rumahnya, tetapi juga memperpendek tali kasih manusia dengan sesama manusia lainnya. Termasuk dengan sesama anggota keluarga. Mulailah banyak yang merasakan hidup bagai dalam losmen belaka. Tamu-tamunya jarang berjumpa, seolah-olah tidak saling mengenal. Tak ada waktu untuk membicarakan masalah-masalah bersama. Tak ada pula aktivitas yang ditujukan untuk kepentingan bersama.

Kegiatan mondar-mandir, bermusafir dan pindah tempat tinggal, akhirnya jadi kebiasaan hidup. Makin besar mobilitas, makin banyak perjumpaan tatap muka yang singkat. Kontak antar manusia jadi sepintas, yang masing-masing merupakan hubungan tertentu yang fragmentaris dan dalam waktu yang amat terbatas. Kebiasaan ini pun terbawa dalam kontak keluarga. Tentu ya … sentuhan kasih, akhirnya tinggal menunggu senja tiba.

Inang-Inang Pengasuh Anak

Di waktu lampau, paman, bibi, nenek dan kakek mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan jiwa seorang anak. Mereka turut membina, melatih dan mengasuh si anak, terkadang bahkan sampai tahap dewasa.

Lihatlah zaman sekarang. Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak menjadi lebih penting kedudukannya. Paman, bibi, kakek dan nenek sudah tak lagi memberikan perlindungan berarti seperti dulu. Dengan demikian keluarga inti lah yang menjadi sumber utama pembentukan watak, akhlak, kebiasaan dan perilaku anak. Ayah dan ibu, dua-duanya masih mampu dan mau mendidik anak-anaknya.

Akan tetapi, ketika laju perkembangan kian deras, pergeseran mulai membuka suasana baru. Kesibukan pun mulai memaksa ayah menjalani hidup lebih banyak di luar rumah. Pergi pagi, pulang malam. Kadang tak sempat bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya. Masih untung, ada sang ibu, yang siap mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Lalu lahirlah gerakan emansipasi. Para ibu mulai merasa “dipingit” kalau terlalu banyak di rumah. Tuntutan itu bergema dimana-mana, sampai ke pelosok desa. Tak dapat dielakkan lagi, akhirnya ayah dan ibu, dua-duanya, keluar dari rumah, sama-sama bekerja. Waktu interaksi antara ayah-ibu dengan anak-anaknya makin luntur dalam rona kelabu senja. Urusan anak, sejak itu, mulai diserahkan sepenuhnya kepada orang lain. Mulailah masuk anggota keluarga baru, inang pengasuh (merangkap pembantu atau tidak) dalam struktur keluarga. Inang pengasuh itu, saat ini telah menggantikan fungsi ibu.

Selain itu fungsi orang tua lainnya yang juga diserahkan kepada orang lain (atau pihak luar) adalah fungsi sebagai pendidik anggota keluarga. Fungsi ini kini telah begitu mapan. Telah banyak keluarga yang menyerahkan dan mempercayakan pembinaan anaknya kepada lembaga pendidikan, sepenuhnya, sehingga perhatian dan kontrol ayah-ibu luput begitu saja.

Orangtua Profesional

Apakah yang bakal terjadi di masa depan? Kalau kecenderungan ini masih tetap demikian, bisa diperkirakan mobilitas hidup manusia akan semakin tinggi. Tuntutan “survive” dalam kancah kehidupan secara layak menimbulkan alam persaingan semakin kejam. Karena itu, bisa jadi pada sebagian keluarga, proses perampingan keluarga itu akan terus berlanjut, yaitu keluarga tanpa anak. Keluarga hanya tinggal komponennya yang paling elementer, seorang pria dan seorang wanita.

Dua orang itu, mungkin dengan karir yang sepadan, akan terbukti lebih efisien untuk mengarungi pendidikan dan lika liku sosial, melalui perubahan pekerjaan dan relokasi geografis global, dibanding keluarga tradisional yang sering direpoti anak.

Pada masa seperti itu, ada kemungkinan lahirlah jenis profesi baru. Profesi yang khusus mengasuh dan mendidik anak secara lebih baik, yaitu “keluarga profesional”.

Kalau itu benar-benar terjadi, muncullah dua jenis orang tua: orang tua biologis dan orang tua profesional. Orang tua biologis adalah yang melahirkan anak, sedangkan orang tua profesional adalah yang mengasuh, membesarkan dan mendidik anak.

Atau pada sebagian keluarga ada pula yang memilih melakukan suatu kompromi berupa penundaan waktu beranak. Gejala ini terlihat dari banyaknya pria atau wanita yang terombang-ambing dalam konflik antara komitmen pada karir atau komitmen pada anak. Maka mulai banyak pasangan akan menghindari persoalan itu dengan menunda seluruh kewajiban mengasuh anak, bisa jadi sampai sesudah pensiun.

Andaikata diberi kesempatan, banyak orangtua yang makin senang hati menyerahkan tanggung jawab keibu-bapakan mereka kepada orang lain, bukan karena tidak memiliki rasa tanggungjawab atau kasih sayang. Mereka pusing, bingung, terpojok. Mereka mulai insaf bahwa mereka sudah tak mampu menunaikan kewajiban. Dalam keadaan ekonomi berkecukupan dan dengan tersedianya “jasa orang tua profesional” yang (berijazah mungkin) dan telah berketrampilan khusus (tentang parenting), banyak orang tua biologis tidak hanya akan senang menyerahkan anaknya kepada mereka, bahkan memang memandang langkah itu sebagai suatu tindakan kasih sayang kepada masa depan anaknya.

Lalu jangan heran, kalau suatu hari nanti, kita akan baca sebuah iklan, “Mengapa kewajiban sebagai orang tua membelenggu anda? Percayakanlah kami mengasuh anak Anda menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan berhasil. Keluarga profesional ‘Happy Family’ terdiri dari seorang ayah usia 39 tahun, ibu 36 tahun, seorang nenek 57 tahun. Paman dan bibi masing-masing 30 tahun dan tinggal bersama. Unit empat-anak masih dapat menerima seorang anak lagi usia 6 – 8 tahun. Makanan  teratur, melebihi standar pemerintah. Semua orang dewasa sudah berijazah parenting berlisensi. Orang tua biologis boleh mengunjungi anak secara berkala. Ada kesempatan pula untuk saling kontak via telpon. Anak boleh berlibur dengan orang tua biologis. Kontrak minimal 5 tahun. Rincian lebih lanjut, silakan hubungi telpon 1234567890.”

Bagaimana, Anda tertarik?

Siklus hidup kita saat ini sedang mengalami akselerasi. Kita tumbuh lebih cepat, meninggalkan rumah lebih segera, dan kawin lebih dini.

“Kita memperkecil jarak berbagai peristiwa itu dan merampungkan periode sebagai orang tua secara lebih cepat,” kata Dr. Bernice Neugarten, seorang spesialis perkembangan keluarga dari Universitas Chicago.

Kekuatan yang kelihatan paling besar kemungkinannya akan menggoncangkan keluarga dalam dasawarsa mendatang adalah dampak teknologi kelahiran yang baru. Kemampuan untuk menentukan terlebih dahulu kelamin bayi, bahkan “memprogramkan” IQ-nya, wajahnya, dan ciri kepribadiannya, kini harus dianggap sebagai suatu kemungkinan yang nyata. Penanduran embrio, bayi yang hidup invitro, kemungkinan untuk dengan minum pil saja pasti akan mendapat anak kembar dua atau tiga, atau bahkan kemungkinan untuk memasuki sebuah “babytorium” dan benar-benar membeli sebuah embrio, semua ini demikian jauh melampaui pengalaman manusia, sehingga perlu melihat ke masa depan dengan mata seorang penyair atau pelukis, bukan dengan mata seorang sosiolog atau filsuf konvensional.

Apabila seorang “ibu” dapat memadatkan proses kelahiran menjadi suatu kunjungan singkat ke pusat perdagangan embrio, atau dengan memindahkan embrio dari rahim yang satu ke rahim yang lain (dan ini melenyapkan kepastian sejak zaman kuno bahwa mengandung anak memerlukan waktu sembilan bulan), maka anak-anak yang akan tumbuh dalam suatu dunia yang siklus keluarganya, yang dulu berjalan begitu tenang dan pasti, kini melonjak-lonjak tanpa irama.

Kemajuan ilmu dan teknologi reproduksi itu dalam sekejap telah menghancurkan semua gagasan ortodoks mengenai keluarga dan tanggungjawabnya. Kalau bayi dapat hidup dalam stoples laboratorium, apa jadinya dengan makna keibuan itu sendiri? Dan apa jadinya dengan citra diri wanita dalam masyarakat, yang sejak awal kejadian manusia mengajarkan kepadanya bahwa tugas utama wanita adalah menyebarluaskan dan melestarikan umat manusia?

“Siklus kelahiran,” kata Dr. Hyman G. Weitzen, ahli psikiatri dan Direktur Pelayanan Neuropsikiatris pada Polyclinic Hospital di New York, “untuk kebanyakan wanita merupakan pemenuhan kreatif yang utama…. Kebanyakan wanita bangga akan kemampuan melahirkan anak …. Nur khusus yang bersinar dari setiap wanita hamil telah banyak sekali dilukiskan dalam seni dan sastra di Timur maupun di Barat.”

“Apakah yang akan terjadi pada pemujaan keibuan,” tanya Weitzen, “jika keturunannya bukan benar-benar dari darah dagingnya sendiri, namun berasal dari telur genetis yang unggul dari wanita lain, yang ditandur ke dalam rahimnya, atau bahkan telah dibesarkan dalam cawan petri?”

“Jika wanita ingin punya arti,” katanya, “sekarang ini bukan lagi karena hanya mereka saja yang dapat melahirkan anak. Paling tidak, kita sedang menghapus mistik keibuan.”

Tidak hanya konsep keibuan (motherhood), tetapi konsep kebapaan (parenthood) mungkin juga akan menghadapi perombakan radikal. Akan segera tiba saatnya bahwa seorang anak bisa mempunyai lebih dari dua orang tua biologis. Dr. Beatrice Mintz, ahli biologi perkembangan pada Fox Chase Cancer Center, Institute for Cancer Research di Philadelphia, Pennsylvania,  telah mengembangkan sesuatu yang dikenal sebagai “multitikus”, yakni bayi tikus yang mempunyai jumlah induk-bapak yang lebih dari biasanya.

Embrio diambil dari dua ekor tikus yang hamil. Kedua embrio ini ditempatkan dalam cawan laboratorium dan dipelihara sampai membentuk satu massa tunggal yang tumbuh. Kemudian massa ini ditandurkan ke dalam rahim tikus betina ketiga. Seekor bayi tikus pun lahir dan jelas sekali memiliki karakteristik genetik kedua pasangan donornya.

Dengan demikian maka seekor multitikus yang dilahirkan dari dua pasang induk-bapak, dapat berbulu dan berkumis putih pada satu sisi mukanya, berbulu dan berkumis hitam pada sisi muka yang lain, dengan garis hitam dan putih berselang-selang pada tubuh selebihnya. Sekitar 700 multitikus yang ditangkar secara begini telah melahirkan lebih dari 35.000 keturunan. Pertanyaannya, jika multitikus telah ada, akan lamakah “multimanusia” menyusul?

Definisi orangtua, berubah?

Bila seorang wanita, dalam rahimnya, mengandung embrio yang telah dibuahi dalam uterus wanita lain, siapakah ibu yang sebenarnya? Apakah si ibu yang memiliki “membuahinya”, ataukah ibu yang mengandungnya? Dan juga akan ada pertanyaan, siapa pula ayahnya?

Jika suatu pasangan suami istri, nanti di suatu masa kelak, benar-benar dapat membeli sebuah embrio, definisi keibu-bapakan akhirnya hanya menjadi masalah hukum, bukan lagi masalah biologis.

Tanpa pengawasan ketat, transaksi demikian dapat menimbulkan hal yang fantastis, seperti sepasang suami istri yang membeli embrio, lalu membesarkannya invitro, lalu membeli embrio lain atas nama (anaknya, yaitu embrio-pertama). Dalam hal itu, mereka secara hukum dapat dianggap “kakek-nenek”, bahkan sebelum “anak” nya melampaui masa kanak-kanaknya. Saat itu barangkali kita akan memerlukan kosa kata baru untuk menggambarkan segala pertalian kekerabatan seruwet ini.

Lagi pula, kalau embrio dapat diperjualbelikan, bolehkah suatu perusahaan membelinya? Bolehkah membeli sepuluh ribu buah? Dan jika bukan perusahaan, bagaimanakah bila yang melakukan itu sebuah laboratorium penelitian yang non-komersial? Jika kita membeli dan menjual embrio hidup, apakah kita kembali ke suatu bentuk perbudakan yang baru?

Demikianlah, semua bayangan ini datang bagai mimpi buruk di siang hari. Akankah ia terjadi? Orangtua biologis telah berbagi tugas dengan orangtua professional. Tapi orangtua biologis pun sedang terguncang definisinya. Wah! [nilna iqbal]

Source: http://nilnaiqbal.wordpress.com/

1 comments

Tinggalkan komentar