Pergumulan Esoterisme Islam

Pergumulan Esoterisme-Islam  

  (Sebuah Apresiasi-Kreatif atas Ide-Spiritual Liyan)[1]

Mukti Ali[2]

khudzil al-hikmah walau min wi’âin ukhrijat, walau min fasiqîen aw min kafirîen

(Ambillah hikmah dari bejana manapun ia keluar, meski dari orang fasik atau bahkan kafir)

Imam Agung Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah[3]

 

Interaksi Tasawuf dan Ide-Spiritualitas Liyan

EKSPERIMENTASI dan pengalaman spiritual bersifat individualistik. Ada pergulatan kuat yang tersimpan rapi di ruang privat, yang membentuk gelombang imajinasi yang memicu kontemplasi dan berfikir bebas, dengan mengabaikan sekat-sekat doktrin dan ortodoksi agama. Hal ini adalah napak tilas kaum teosof Islam, di mana yang diandaikan adalah membangun “agama baru” di dalam agama (Islam). Sebuah agama masa depan bagi manusia. Kado dari individu-individu para teosof untuk semua manusia.

Pergumulan ide dan  imajinasi kreatif dengan pemikiran Liyan, budaya dan agama lokal telah didayagunakan secara arif dalam dialog produktif. Lain halnya para mutakallimin dan ahli fikih yang ketika berhadapan dengan ide dan keyakinan di luar Islam cenderung menonjolkan dialog radikal, yang tidak empati. Para teosof dalam menghayati, merenung, dan memikirkan Islam yang dianut, tidak serta-merta menggusur habis-habisan ide atau spiritual Liyan dan agama lokal, bahkan mereka dengan cantik mengadopsinya dalam upaya mensistematiskan dan mengisi nilai-nilai spiritual yang ada pada lokus Islam.

Wajar jika pemikiran sufistik mereka dicurigai keotentikannya. Karena sejatinya adalah hal yang mustahil adanya sebuah orisinalitas dalam sebuah konstruksi pemikiran dan spiritualitas mana pun. Mensintesakan semua pemikiran dan spiritualitas yang dilakukan kaum teosof adalah sikap arif dan inklusif. Barangkali sudah merupakan rahasia umum bahwa referensi yang dipakai kaum teosof bukan hanya dari tradisi Islam (al-Qur`an dan hadits) an sich, akan tetapi dari semua penjuru dunia spiritual dan pemikiran, di samping dari pergolakan spiritual dan keresahan pemikiran yang timbul dari pengalaman panjang dalam mencari kebenaran sejati.

Meski mereka seringkali, dalam panggung sejarah, diposisikan sebagai kelompok subaltern (sempalan yang termarjinalkan), karena dianggap mereka cenderung meninggalkan ortodoksi dan literalisme Islam, namun justru hal ini adalah langka yang positif. Karena dengan “menjaga jarak” darinya (ortodoksi dan literalisme Islam) telah memberi “ruang bebas gerak’’ untuk diisi dengan berfikir, berintuisi dan berkontemplasi secara dinamis. Karena itu, bukan hal yang mengada-ada kalau dikatakan “bahwa mereka, para teosof adalah ibnu waqtihi (ikon bagi zamannya).”[4]

Tidak syak lagi kalau kita katakan bahwa, bukan teosof, jika berhadapan dengan ide-spiritualitas Liyan dihadapi dengan sinis, sarkasme dan anarkisme. Para teosof, dalam menghadapi ide-spiritualitas Liyan, akan selalu mengedepankan sikap adaptif, dialogis, apresiatif dan bahkan tidak segan-segan mengadopsi untuk dielaborasi dengan perenungan dirinya serta tetap dengan pijakan tradisi Islam. Namun di sini, kita tidak sedang menegaskan bahwa, tidak ada orisinilitas pemikiran. Akan tetapi di sini kita hanya ingin membuktikan betapa mereka dalam mengadakan perenungan tidak ada kata alergi untuk mengakui bahwa ada kebenaran wisdom (hikmah/kebijaksanaan) di luar Islam. Ada yang bisa dipelajari dan diambil. Dengan berprinsipkan pada sebuah “jargon” yang sangat terkenal, yang oleh para pakar dianggap sebagai perkataan sahabat Nabi Saw., yang menjadi idola para teosof dan dinobatkan oleh Nabi sebagai “babul al-‘ilmi” (pintu ilmu), yaitu Imam Agung Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karamallahu Wajhah, yang berupa: “khudzil al-hikmah walau min wi’âin ukhrijat, walau min fasiqîen aw min kafirîen” (Ambillah wisdom dari bejana manapun ia keluar, meski dari orang fasik atau bahkan kafir). Ujaran arif ini mengandaikan sebuah toleransi radikal, dan Imam Ali menyadari sepenuh hati bahwa semua ilmu dan kebijaksanaan yang ditemukan manusia adalah bersumber dari Dzat Yang Maha Tahu dan Mengetahui. Karena itu, ilmu dan kebijaksanaan sejatinya tak mengenal identitas keterkotak-kotakan yang dikonstruk oleh letak geografis, agama atau ras. Ia (baca: ilmu dan kebijaksanaan) bersifat lintas-batas, dan terlalu luas untuk disematkan kepadanya satu “jenis kelamin” tertentu, lantaran ia bersumber dari Dzat Yang Maha Luas, yang mana keluasannya tak bisa terjangkau oleh otak kerdil manusia. Dan inilah yang disadari betul oleh para teosuf Islam.

******

Ada sesuatu yang bersifat perenial dan fitrah, yang bisa diraih oleh siapa pun, dengan bersungguh-sungguh menggunakan akal sehat dan ketajaman intuisi. Sehingga jika ada titik sama dalam rumusan kecenderungan spiritual, tidak bisa secara terburu-buru dianggap sebagai pengcopyan atau “plagiatisme spiritual”. Karena ada pemikiran atau spiritual yang secara kebetulan sama antara pemikiran teosof Islam dan pemikiran the others, bukan dari proses saling mempengaruhi-dipengaruhi. Inilah barang kali, yang bisa membatasi antara pemikiran yang orisinil dan pemikiran yang diadopsi dari pemikiran pihak lain. Sebagai misal, wacana al-hub al-Ilahi (the love for God). Wacana tersebut telah ada di dalam tradisi Kristen, yang menyatakan bahwa, Kristen adalah agama cinta kasih. Dan wacana tersebut juga ada di dalam tradisi sufistik, bahkan sangat semarak didiskusikan oleh para teosof muslim.

Orang yang pertama kali menggulirkan wacana cinta Ilahi secara transparan dalam Islam ialah sufis perempuan, Rabi’ah al-‘Adawiyah, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, dia memperkenalkan konsep cinta ilahi sebagai sendi utama bagi kehidupan keagamaan.[5] Meskipun terma “cinta ilahi” ada di dalam al-Qur`an (al-Maidah, ayat: 53), akan tetapi sebelum Rabi’ah mewacanakan, tidak ada satu pun dari kalangan sufi Islam yang menyentuh dan menggulirkannya cinta ilahi sebagai maenstream. Sebelum Rabi’ah mewacankan cinta Ilahi, adalah al-Hasan al-Basri, sufis Islam awal, telah mewacanakan konsep zuhud (asketis) dan takut kepada siksa neraka dan sangat antusias untuk mendapatkan balasan surga.[6] Justru, Rabi’ah dengan konsep cinta ilahinya selangkah lebih maju dari sebelumnya, yaitu wacana sufistik yang digulirkan Hasan al-Bashri. Dia mengungkapkan cintanya kepada Tuhan dengan melalui beberapa bait syair berikut ini:

Aku cinta kepada-Mu dengan dua cinta; cinta kasmaran

dan cinta karena memang Kau patut dicinta

Cinta kasmaran ialah keadaanku yang tidak bisa mengingat selain diri-Mu

Sementara cinta kedua karena Kau telah menyibakkan tabir

hingga aku dapat melihat-Mu

Betapa pun, cintaku tidak berarti apa-apa bagi-Mu

Sementara cinta-Mu berarti segala-galanya bagiku[7]

Kita lihat dari bait syair di atas, betapa Rabi’ah melontarkan konsep cinta ilahi dengan transparan. Dia membaginya kedalam dua bagian: pertama, cinta kasmaran (hub al-hawa), perasaan cinta yang memotifasi mengingat Tuhan dan lalai dengan yang lain-Nya; cinta kepada esensi Tuhan; sebuah cinta keelokan ketuhanan. Dan kedua, cinta suci dari kasmaran (hawa) dan pamrih. Cinta ini lebih tinggi dari cinta yang pertama. Berkenaan dengan cinta kedua, dia berujar, “Tuhanku, jika aku beribadah pada-Mu karena aku takut Neraka, maka bakarlah aku dengan bara apinya. Jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharapkan surga, maka laranglah. Aku beribadah pada-Mu murni karena cintamu. Maka jangan halang-halangi aku untuk bisa melihat keelokan-Mu yang abadi, wahai Tuhaku.” Dan di saat Sufyan al-Tsauri menanyakan tentang hakekat iman, Rabi’ah menjawab, “Sebuah ibadah yang bertujuan bukan karena takut neraka dan cinta atau mengharapkan surga.”[8]

Ungkapan Rabi’ah tentang cinta Ilahi yang diwujudkan dengan ketidakpamrihannya pada surga dan tidak takut pada neraka, secara kebetulan senada dengan pertemuan Yesus (Isa As.) dengan tiga rombongan. Seperti kisah dialog Yesus dengan tiga orang, yang dikutip oleh Reynold  A. Necohlson, demikian:

 “Tiga orang melintas di depan Yesus. Mereka bertubuh kurus dan wajahnya pucat. Mereka ditanya, “Apakah yang engkau cari sehingga tubuhmu demikian?” Mereka menjawab serentak, “Kami takut pada api neraka!” Yesus kemudian berkata lagi, “Engkau takut pada sesuatu, padahal, sesuatu itu adalah milik Tuhan, sudah barang tentu engkau akan diselamatkannya dari sesuatu yang engkau takuti.”

Kemudian Yesus bertemu dengan tiga orang lagi. Tubuhnya lebih kurus, wajahnya lebih pucat. Yesus bertanya kepada mereka, “Apakah gerangan yang engkau cari?” Mereka menjawab serempak, “Kami mencari surga.” Yesus pun menjawab, “Kamu mencari sesuatu yang diciptakan, namun yang kamu cari itu ciptaan Tuhan. Semoga apa yang kamu cari dikaruniai oleh-Nya.”

Yesus masih bertemu lagi dengan tiga orang yang tubuhnya sangat kurus dan wajahnya sangat pucat jika dibandingkan dengan dua rombongan sebelumnya. Sehingga, wajah mereka mirip seperti cermin yang memantulkan cahaya. Yesus kemudian bertanya, “Saudara apakah yang membawamu kemari sehingga tubuhmu demikian!” Serempak mereka menjawab, “Cinta kami kepada Tuhan!” Yesus kemudian menimpali mereka, “Kalian senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan maka Dia pun akan selalu mendekati kalian.”[9]

Meski Nicholson menduga bahwa kutipan kisah di atas telah memberi inspirasi kepada kaum sufi,[10] akan tetapi Abd Rahman Badawi berpendapat bahwa, pengaruh Kristen kepada konsep cinta ilahi Rabi’ah hanya sebatas hipotesa yang tidak kuat.[11] Namun keterpengaruhan cinta kasih Kristen sedikit banyak telah memberikan inspirasi kepada para teosof Islam setelah Rabi’ah.

Rabi’ah adalah sufi akhir abad ke-1 dan masuk awal abad ke-2. Selanjutnya masuk abad ke-3, konsep cinta ilahi dikembangkan oleh generasi sufi. Di antara yang mengembangkan konsep cinta ilahi, yaitu Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 atau 201 H.), al-Junaid (w. 297 H.),  al-Mahasibi (w. 243 H.), Dzu al-Nun al-Mishri (w. 245 H.), Yahya bin Mu’adz al-Razi (w. 258 H.), yang dikatakan oleh Louis Massignon sebagai orang yang pertama kali menyuarakan cinta Ilahi dalam syair dengan sistematika yang jelas, Abu Mansur al-Hallaj (w. 309 .H), dan sampai konsep cinta ilahi menjadi ide konvensional di kalangan kaum sufi. Akhirnya saya katakan, agama yang diidam-idamkan kaum sufi adalah “agama cinta”, seperti yang diidam-idamkan kaum Kristen terhadap agamanya. Tidak berlebihan kalau juga dikatakan bahwa “agama cinta adalah agama masa depan”.

Di dalam tradisi sufistik, ada golongan sufi yang terkenal dengan nama golongan “bukkâ`în” (para sufi yang selalu meratap dengan tangisan). Ketika mereka teringat Tuhan dan mengoreksi diri bahwa betapa diri sangat kotor dengan lumpur noda dan dosa, maka mereka meratapi dan menangis tersedan-sedan. Golongan bukkâ`în menurut Reynold  A. Necholson adalah golongan sufi yang terpengaruh oleh para spiritual Kristen.[12] Akan tetapi Ali Syami al-Nasyar berpendapat bahwa, golongan bukkâ`în bukanlah para sufi yang terpengaruh oleh para spiritual Kristen, melainkan murni dari hasil pencarian dan pergulatan batin mereka sendiri.[13] Kita tahu, betapa goncangan keadaan politik, mengakibatkan sebagian kaum Muslim tenggelam dalam kehidupan spiritual dan isolasi diri daripada masuk ke gelanggang pertikaian yang terus-menerus berlangsung. Kita tahu bahwa masa dinasti Umayyah—dengan mengecualikan masa Umar bin Abdul Aziz—betapa banyanya orang-orang yang teraniaya, penindasan yang sangat keji terhadap lawan-lawan politiknya, maka secara alami menguatnya trend asketis dan kehidupan ‘uzlah bagi individu-individu kaum Muslim.

Sebagai contoh akan kelaliman Bani Mu’awiyah adalah terbunuhnya al-Hasan bin Ali dengan diracun oleh Ja’dah binti al-Sy’at dan al-Husein bin Ali dibunuh secara syahid oleh Yazid bin Mu’awiyah dan bala tentaranya di padang Karbala, dan hari demi hari kelaliman Bani Mu’awiyah semakin menjadi-jadi. Mengakibatkan sebagian dari golongan pengikut setia al-Hasan dan al-Husein hanya bisa ber-i’tikaf di dalam rumahnya masing-masing, sibuk dengan ilmu pengetahuan dan ritual. Munculnya Tasawuf adalah munculnya sebuah politik perlawanan dari golongan Syi’ah, seperti reaksi atas ketamakan dunia dan jabatan, gaya hidup hedonistik dan gelamor. Kesulitan mengadakan perlawanan terhadap kecenderungan matrealisme tersebut, terjadi setelah para Imam dari Ahli Bayt mati dalam keadaan syahid, kemudian perlawanan semakin melemah. Para ulama diblokade dengan pilihan yang dilematis antara sikap bersatu atau memutus hubungan dengan Mu’awiyah. Maka sebuah golongan lebih berusaha menyelamatkan jiwa daripada menyelamatkan bobroknya dunia. Cenderung untuk mengukuhkan dan menguatkan internal ketika merasa susah bereaksi dalam tataran eksternal di lapangan. Dan keinginan menyucikan hati dan membersikan diri ketika badan dituntut oleh keharusan hidup dan eksistensi. Setelah fitnah al-kubra (fitnah besar) muncul dari satu generasi, sebuah komunitas asketis ‘ubbad (mereka yang getol beribadah) dan bukka’ien (mereka yang suka meratapi dosa dengan menangis), mereka telah meratapi sesuatu yang telah lalu pada hari-hari Rasul dan para khulafah.[14] Dan mengutuk golongan dari penduduk kota Kuffah—sepertihalnya juga Basrah, salah satu markas asketis masa Islam awal—dan menamai diri mereka dengan al-tawwabin (golongan yang bertaubat), setelah syahidnya al-Husein.[15] Dan pergerakan al-tawwabin telah dipimpin oleh al-Mukhtar bin ‘Ubayd al-Tsaqafi pada masa Marwan, dan mereka pernah mentaklukkan Umayyah pada sebagian perlawanan, akan tetapi dia wafat pada 68 H., di Kuffah.[16]

Dan ketika al-Mukhtar mampu melancarkan revolusi positif dalam memukul kelaliman Bani Umayyah, maka kebanyakan dari kaum Muslim tidak mampu untuk berusaha mendirikan kebenaran dan menentang kepemerintahan otoriter. Di depan penguasa yang otoriter, mereka hanya bisa menyingkir dari kehidupan masyarakat dan mengakhirinya dalam kehidupan yang bernuansa spiritual dan asketis. Benar, bahwa ini adalah bentuk yang negatif, yang tidak diketahui di dalam ajaran Islam sebelumnya, akan tetapi arus politik dan sosial lebih kuat daripada mereka. Dan mereka hanya bisa ‘bungkam’ dan diam seribu bahasa dari hegemoni penguasa lalim.[17]

 Para asketis Islam tidak semuanya bersikap statis dan fakum, melihat porak-porandanya moralitas politik dan etik para penguasa otoriter Muawiyyah. Bahkan sikap negatif-pesimis dan nihilis dari para asketis tidak berlangsung lama, bahkan fenomena asketis muncul dan menyebar dengan bentuk yang berbeda di dalam kalangan cendikiawan, dimana mereka lebih memilih bersikap pro-aktif dalam aktifitas politik praktis. Mereka muncul dengan menjadi oposisi loyal yang berusaha menentang kebijakan sosial dan politik dalam penguasaan dinasti Umayyah yang otoriter. Adalah Abdullah bin Umar sendiri, seorang asketis Islam awal, yang selalu dalam suasana keasketisannya, dia telah bersikap terang-terangan menentang kepada kelaliman yang telah terjadi pada masa al-Hajjaj. Jadi, asketis, pada periode ini, tidak selalu dengan sikap nihilis dari sikap al-hiyad (netral) dan melarikan diri dari perhelatan politik yang terjadi, bahkan melibatkan diri, masuk pada perhelatan politik dengan menggabungkan diri dan berpihak pada barisan golongan kebangkitan dalam menentang hegemoni sosio-politik yang lalim. Dari mereka, para asketis, cukup banyak yang bersikap memihak, alias tidak netral.[18]

Masa Umayyah adalah masa yang berdarah-darah (‘isyr iraqah al-dzima’). Pelanggaran pun dilakukan di Makkah dan Madinah, yang telah dilakukan oleh salah satu Jongos Bani Umayyah, seperti ‘Ubaydillah bin Ziyad dan Hajjaj bin al-Tsaqafi. Tidak sedikit ruh-ruh kaum Muslim yang melayang. Dan banyak kaum Muslim yang hidup dalam kondisi ketakutan, mereka menganjurkan asketis dalam dunia, karena mereka menganggap bahwa dunia tidak ada harganya.

Kehidupan sosial umat Islam pada masa Umayyah berubah derastis, tidak seperti kehidupan pada masa Nabi dan Khilafa al-Rasyidin. Di mana pada masa Umayyah, kaum Muslim telah menjelajah dan memperluas daerah kekuasaan. Semakin banyak daerah yang ditaklukkan, maka semakin banyak harta rampasan perang diraih. Para pembesar tenggelam dalam kehidupan hedonis dan gelamor. Dan terdapat sebagian umat Islam yang mengingatkan mereka, dengan menganjurkan kepada kehidupan asketis, tidak hedonis, dan tidak tenggelam dalam lumpur syahwat. Contoh, salah satu Sahabat Abu Dzar al-Ghifari telah mengkritik kehidupan Umayyah yang gelamor dan penegakan hukum yang tidak becus, dengan kritikan tajam. Dan dia adalah salah seorang yang menganjurkan tegaknya ‘sosialisme Islam’ yang adil. Dan pada masa itu, muncul seorang asketis Islam, yang tergolong al-tabi’ien (generasi setelah Sahabat), yaitu Sa’ied bin al-Musayyab, yang wafat pada tahun 90 H., yang telah memusuhi kepemerintahan Umyyah.[19]

Tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa tasawuf dimuncul di kalangan umat Islam oleh golongan Syi’ah, sebagai reaksi dari kehidupan hedonistis dan kelaliman penguasa. Bukkaien, semisal, adalah sekelompok Syi’ah yang meratapi dunia yang begitu suram, dan menangisi betapa para Imam, keturunan dan anak cucu Rasulullah Saw dibunuh dan bibantai dengan keji oleh rezim Mu’awiyyah. Karena itu, pandangan Reynold  A. Necholson sangat keliru kalau ia mengatakan bahwa bukkaîen adalah bukti keterpengaruhan tasawuf oleh asketisme Kristen. Lantaran sejatinya bukkaîen adalah murni muncul dari pengalaman spiritual para sufi Syi’ah pada masa awal Islam.

******

Barang kali, seperti yang dikatakan Adam Mith bahwa, ide sufistik pada periode awal, sekitar abad ke-1 dan awal ke-2, relatif murni dari pengaruh luar, hanya ada kesamaan-kesamaan yang bersifat kebetulan. Namun pada abad ke-3, ide sufistik mulai berinteraksi dengan ide-spiritual dan pemikiran Liyan. Bentuk Islam telah berubah sekitar pertengahan antara abad ke-3 dan ke-4, dengan masuknya aliran pemikiran Kristen dan yang lainnya ke dalam agama Muhammad (Islam).[20] Setidaknya ada beberapa sumber di luar tradisi Islam yang turut mewarnai wajah sufistik Islam, di antaranya yaitu, Kristen, Genostik, Hindu-Budha, Neo-Platonisme dan Agama yang berkembang di Persia.

Kita tahu bahwa al-Hallaj telah membedakan antara al-Lâhût dan al-Nâsût dalam esensi Ilahi. Keduanya (al-Lâhût dan al-Nâsût) adalah terma yang masih tabu (asing) dalam Islam, di mana asal dari keduanya merujuk kepada apa yang digunakan oleh kaum Kristen Suryani di Gereja Timur dalam membahas berkenaan dengan  asal kejadian (tabi’ah) Yesus al-Masih. Dan kita juga menemukan pendapatnya yang mengatakan bahwa Tuhan akan menghukum di antara manusia di hari kiamat dengan figuratif al-Nâsûtiyah (humanity), dan pada mulanya, sebelum menformat atau pembentukan makhluk, Tuhan menjelma dalam bentuk manusia. Ini adalah pemikiran manusia klasik, yang ada di dalam tradisi Yunani, yang menurut madzhab Gnostik disebut dengan proon anthropos.[21] Dalam hal ini, dia sama dengan Ibnu ‘Arabi yang mendualismekan antara al-Lâhût dan al-Nâsût bagi hakekat wujud yang satu. Irama Kristen sangat jelas berdendang dalam kecenderungan al-Hallaj. Dia berpendapat bahwa, esensi Dzat Tuhan adalah cinta. Al-Haq mencintai esensi-Nya sebelum menciptakan makhluk di dalam keesaan-Nya yang mutlak. Dan dengan cinta Dia memanifestasikan esensi-Nya di dalam diri-Nya.[22]

Dan kita bisa tahu lebih jauh bahwa adanya hubungan nasab dan persamaan antara pemikiran al-Hallaj dan madzhab Gnostik. Seperti kita menemukan dalam pemikiran Basilides, yang konon katanya, termasuk bermadzhab Irenaeus, bahwa bapak telah melahirkan logos, phronesis (wisdom/hikmah), dynamis dan sophia. Dan demikian juga kita telah tahu bahwa al-Hallaj ketika berbicara dalam Tha Shiyn al-Masyiah (sebuah perkenaan/kehendak) atas empat devisi-devisi; pertama, kehendak-Nya, kedua, kebijaksanaan-Nya (wisdom), ketiga, kekuasaan-Nya (dynamis), dan keempat, pengetahuan dan keabadian-Nya (sophia). Jalan mentamsilkan devisi-devisi telah ditemukan pada madzhab Gnostik dengan istilah celsus. Kaum Gnostik mengumpamakan akal dengan bentuk Laboratorium, sementara al-Hallaj mengumpamakannya dengan Kotak Empat persegi panjang. Kita juga menemukan pada kaum Gnostik tentang sterilisasi atau penyucian manusia dan fase-fase penyucian dari tabiat kemanusiaan; dan al-Hallaj secara eksplisit menjelaskan bahwa Isa As. adalah al-Matsal al-A’lâ, yaitu manusia yang telah selesai dalam penyuciannya.[23]

******

Bukan sebatas Kristen saja yang turut mewarnai corak pemikiran para teosof Islam, akan tetapi Hindu dan Budha juga turut menorehkan tintanya. Karena Hindu dan Budha sudah tergolong cukup tua bercokol di ubun-ubun komunitas Arab, dengan dibawa oleh para pedagang dari India dan dari kebudayaan Persia yang sudah terjadi akulturasi budaya dengan budaya India. Ahmad Amin mensinyalir bahwa, pengaruh kebudayaan India pada kebudayaan Islam dari dua aspek. Pertama aspek langsung. Dengan berinteraksinya kaum muslim dengan India melalui jalur perdagangan dan jalan imperialisme Arab (al-Fath). Imperialisme berlangsung sampai menguasai daerah Sindi, yang termasuk bagian dari kekuasaan Islam, yang tunduk pada undang-undang Islam. Banyak dari kaum muslim yang imigran ke Sindi, dan India juga berimigan ke daerah Islam yang lain. Dan mereka membawa kebudayaannya masing-masing. Dan terjadi akulturasi budaya; tukar menukar budaya secara luas.

Dan kedua, aspek tidak langsung; yaitu kebudayaan mereka, India, ditransformasikan melalui perantara orang Persia. Persia sebelum imperialisme Islam, memiliki hubungan yang sangat akrab dengan India, dan mereka saling mempengaruhi. Mereka -masyarakat Persia- banyak sekali mengadopsi kebudayaan India dan memasukkannya ke dalam kebudayaan mereka, kemudian kebudayaan Persia yang telah dielaborasi dengan kebuyaan India telah ditransformasikan kepada dunia Arab.[24] Dari sinilah agama Hindu dan Budha masuk ke dunia Arab-Islam.

Kita tahu bahwa betapa kuatnya pengaruh kuil Budha di Balkh, sebuah metropolitan dari Bactria kuno, yaitu sebuah kota yang dikenal berpenduduk padat. Termasuk bukti bahwa adanya pengaruh Budha adalah sebuah kisah salah satu ikon besar kaum sufi dalam Islam menyerupai dengan jelas perjalanan hidup Budha, yaitu kisah seorang wali Ibrahim bin Adham (w. antara 160 H. dan 162 H./ 776 M. dan 778 M.), yang muncul dalam legenda muslim sebagai seorang putra mahkota dari kerajaan Balkh. Di dalam sebagian riwayat mengatakan bahwa, sesuatu yang mengendalikan dia adalah sesuatu yang dia dengar dari langit yang memanggil-manggil dia. Dan pada riwayat yang lain mengatakan bahwa, dengan sebab berfikir tentang kehidupan yang tidak terusik oleh pencopotan kekuasaan dan kebutuhan yang selalu terpenuhi, dan ketika dia  mendekati jendela istananya lalu dia melihat laki-laki sangat miskin. Kemudian dia mencopot baju kepangeranannya dan membuangnya jauh-jauh, dan menggantinya dengan gombal sang pengemis. Lalu dia meninggalkan istana dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dia; dunia, istri dan anak-anaknya. Dan dia berkelana ke padang pasir dalam hidupnya menjadi pelancong spiritual.[25] Kemudian dia hidup sebagai Darwis. Jelas ini merupakan kisah yang mirip dengan kehidupan Budha.

Ide sufi tentang peniadaan personal (al-fanâ` al-Syakhsiyyah) pada esensinya berdekatan dengan pemikiran Hindu-Budha, yaitu Atman, meskipun tidak sama persis. Di dalam tradisi Budha, seseorang bisa sampai pada level fana harus melalui pendakian dari satu fase ke fase yang lain secara berurutan dari delapan fase. Ini adalah “jalan lurus yang terhormat”. Bagi tradisi sufi memiliki jalan yang sama dan melalui fase-fase yang sama, dan mereka sang pejalan dinamakan dengan ahl al-salik (sang pejalan spiritual).[26]

Petunjuk atau rambu-rambu jalan menurut para Budha dan sufi keduanya sama-sama bertitik tolak dari satu landasan. Dan keduanya sepakat bahwa meditasi, atau dalam istilah sufi disebut dengan “Murâqabah” dan “al-Diyânah”, akan selalu menempati tempat yang penting, seperti fase persiapan untuk melangkah pada fase dalam pendakian pada yang lebih tinggi menuju kesempurnaan,  di mana seorang yang melakukan meditasi dan obyek yang direnungkan adalah satu. Menurut kaum sufi, Ini adalah ketauhidan yang sesungguhnya, sangat berbeda dengan keyakinan tauhid bagi Islam konvensional. Dan seorang sufi berpendapat bahwa tergolong syirik orang yang menganggap bahwa dirinya telah mengetahui Tuhan; karena anggapan atau uraian ini adalah mengandaikan adanya dualisme antara orang yang mengetahui dan obyek yang diketahui (Tuhan), dan pandangan tersebut juga ditemukan pada teosofi India.[27]

Seorang eksponen mistisisme pantheistik yang mempunyai berbagai klaim hiperbolik dan celotehan mistis (syathahât) adalah Abu Yazid al-Basthami, dilahirkan di kota Bistham sebelah barat Khurasan. Syahdan, al-Basthami belajar tasawuf di bawah bimbingan seorang guru India, yaitu Abu ‘Ali al-Sindi. Al-Basthami belajar mengenai rahasia ajaran fanâ` (peniadaan diri).

Beberapa pemikir Islam kontemporer telah berhasil mengumpulkan celotehan mistis (syathahât al-shûfiyyah) versi Abu Yazid al-Basthami, di antaranya ‘Abd al-Rahman al-Badawi dan Qasim Muhammad Qasim. Celotehan mistisnya hampir senada dengan al-Hallaj. Karena itu, keduanya dikelompokkan pada golongan sufi yang mengusung ide pantheistik dan menyorong ide peniadaan diri manusia hingga keluar dari batas-batas logisnya. Pada suatu kesempatan al-Basthami berceloteh, “Mahasuci diriku, maha agung diriku!”[28] Dan R.C. Zaehner dalam buku, Hindu and Muslim Mysticism, yang telah dikutip oleh Majid Fakhri, mengatakan bahwa, “Semua ucapan yang dinisbatkan kepadanya mengungkapkan dengan tegas konsep tentang peleburan total dengan sifat ketuhanan. Tidak sedikit contoh serupa yang terdapat dalam kitab Vedanta dan Upanisad.”[29] Dan R. C. Zaehner mengatakan bahwa,

“Apa pun pendapat Abu Yazid semuanya dapat dijelaskan dari sumber-sumber India, pendapat-pendapat tersebut akrab dengan Upanisad Svetasvara..[..]..di antara pernyataan Abu Yazid yang mengejutkan para ulama adalah peryataan subhani, ma ‘adlama sya’ny (maha suci diriku, Yang Maha Agung jadilah diriku, betapa besar keagunganku)…[..].. dan paling menonjol lagi ‘aku adalah Tuhan yang paling tinggi’. Sekarang subhani, ‘Yang Agung jadilah aku’, terkesan menghina Tuhan bagi pendengaran orang-orang Muslim, dan hal demikian tidak terdapat dalam tradisi sebelum Abu Yazid, dan sekali lagi kita menemukan penjelasan tentang semua itu dalam sumber Hindu. Sebab dalam sumber Hindu terdapat bahasa Sansekerta yang serupa dengan terma-terma tersebut, yakni dalam Upanisad, Bhratsannyasa, di mana kita baca mahyam eva namo namah (sembahlah, sembahlah aku).”[30]

Ini adalah pengaruh doktrin yang diturunkan dari gurunya, yaitu Abu ‘Ali. Demikian simpul R. C. Zaehner. Sementara ‘Abdul al-Wahab al-Sya’rani berpandangan bahwa pemikiran teofanik Abu Yazid tetap dianggap sebagai pandangan Islam yang orisinil, tanpa terkontaminasi oleh pandangan lain (baca: non-Islam). Adalah wajar jika pandangan sufi Abu Yazid mengundangan kontrofersial dan mendulang multi-tafsir bagi para pengkaji, lantaran Abu Yazid dalam mendendangkan pengalaman spiritualnya dengan ungkapan syath (ujaran aforisma) yang susah tertangkap basah. R. C. Zaehner secara mentah-mentah menangkap maksud literalis dari kata-kata yang disemburatkan Abu Yazid, dengan tanpa penafsiran lebih lanjut dan empati, dan menyimpulkannya bahwa pandangan Abu Yazid selaras dengan Upanisad.

‘Abdul al-Wahab al-Sya’rani, seorang sufi kenamaan Mesir, menyadari betul bahwa ujaran aforisma sufistik (syath) tidak bisa didekati secara gegabah dan literalis. Bahasa aforisma tidak muncul dari bahasa yang terkonsepsikan dan tersekematisasikan. Ia adalah anti-tesa dari “berpikir identitas”. Namun ia adalah bahasa yang hadir—meski sejenak—untuk mewakili bahasa pengalaman spiritual, yang pada tataran yang lebih dalam, tidak bisa diwakili sepenuhnya. Menjangkau fenomena atau cakrawala yang selalu menjauh, tapi ia hadir di dalam dan bersama diri kita. Karena itu, ‘Abdul al-Wahab al-Sya’rani menyikapi bahasa aforisma al-Bastami dan para sufi yang lain dengan sebuah takwil. Al-Sya’rani relatif berhasil—dengan takwilnya—membuktikan bahwa ujaran-ujaran para sufi, sejenis al-Bustami, tidak keluar dari koredor dan nilai-nilai Syari’ah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.[31] Salah satu takwilnya adalah ketika ia mentakwil ucapan subhany (maha suci diriku):

“Dan sungguh Abu Yazid Ra., pada satu kesempatan, telah berkata: “subhanallah” (maha suci Allah). Tiba-tiba, suara tanpa rupa dari lidah al-Haq berkata: “apakah diriku ada ‘aib (cacat) dan kekurangan, sehingga kamu mensucikan diriku darinya?” Abu Yazid berkata: “tidak, wahai Tuhan”. Al-Haq berkata: “maka sucikanlah dirimu sendiri”. Abu Yazid berkata: “diriku telah menerima latihan spiritual (riadlah) sampai bersih dari kekurangan, kemudian kala itu aku berkata: “subhany” (maha suci diriku)”.[32]

Abu Yazid al-Bastami mengucapkan “subhany” (maha suci diriku) dalam konteks pembersihan dan penyucian diri dari kekurangan dan caat sebagaimana lumrahnya manusia sebagai tempatnya kesalahan dan kelalaian, bukan dalam konteks dimana ia mensakralkan dirinya sejajar dengan Tuhan.

Berikut penulis kutipkan sebagian pendapat al-Basthami, yang telah dikutip Reynold A. Nicholson dari buku klasik Hilyat al-Auliyâ`;

“Makhluk adalah subyek dari perubahan keadaan. Tetapi kaum Gnostik tidak memiliki keadaan, karena sisa-sisa tanda kehadirannya ikut musnah, dan esensi dirinya pun lenyap oleh esensi orang lain, bekas-bekas dirinya pun musnah dalam jejak orang lain.”

“Sudah tiga puluh tahun al-haq (Tuhan) kujadikan cerminku. Dan kini aku menjadi cermin bagi diriku sendiri.”

“Aku adalah aku, dan tidak lebih, sehingga kehadiran ‘Aku dan Tuhan’ hanya akan merusakkan kesatuan (keesaan) Tuhan. Karena itu cukup dengan aku saja, maka al-Haq yang tinggi adalah cermin-Nya. Bahkan lihatlah! al-Haq menjadi cerminku, karena dia berbicara dengan lidahku, sementara aku telah fana .”[33]

Menurut Nicholson -senada dengan pendapatnya R.C. Zaehner di atas- bahwa, “Ini bukan Budhisme, melainkan pantheisme dari Vedanta.”[34] Namun Adam Mith berpendapat bahwa, fana adalah berasal dari ide nirwana Budhisme. Hal ini dia ungkapkan ketika dia menjelaskan salah satu murid Dzu al-Nun al-Mishri. Dia berkata, “Abu Sa’id al-Hazzaz al-Baghdady (w. 277 .H/890 .M), salah satu murid Dzu al-Nun al-Mishri, adalah orang yang pertama kali menggulirkan wacana fana, ini adalah ide gnostik klasik, dan tidak berlebihan ini adalah bersumber dari nirwana, India.”[35] Memang benar keduanya menjelaskan tentang peniadaan individualitas. Akan tetapi sejatinya berbeda antara keduanya itu. Nirwana sepenuhnya negatif. Menghilangkan segala sesuatu yang menimbulkan dosa, dan memenuhi pikiran dan hati, menurut misteri agung tentang karma merupakan penyebab ekstensi pribadi yang diperbarui. Sementara fana itu bertalian dengan baqa, yaitu kehidupan Tuhan yang abadi. Tergiurnya kaum sufi sehingga kehilangan dirinya dalam kehidupan kontemplasi ekstase tentang keindahan Ilahi, tentu akan sangat berbeda dengan ketenangan (kehidupan) tanpa nafsu intelektual dari Arahat.[36] yang membedakan juga adalah, bahwa dalam Islam tidak ada doktrin karma.

Akan tetap ada corak fana yang benuansa Kristen, yaitu fana versi al-Hallaj, yang menganggap bahwa belum bisa berbahagia kecuali melepaskan ruh dari jasad. Kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan menghancurkan jasad yang telah menghalang-halangi ruh yang rindu bersatu dengan kekasih abadinya. Jasad kasar adalah penghalang (hijâb) bagi ruh yang rindu dan berambisi bertemu dan menyatu dengan Tuhan, sang kekasih abadi. Dan al-Hallaj berujar, “Di antara aku dan Kamu terdapat penghalang. Maka singkapkanlah dengan keutamaan-Mu, sehingga aku menjadi jelas.”[37]

Jadi fana terdapat dua macam, pertama, fanâ` fî al-baqâ`, yaitu peniadaan noda dan karakter buruk dengan tetap menganggap jasad dan ruh adalah hal yang penting, seperti fana versi para teosof aliran wihdat al-wujûd seperti Ibnu Arabi dan para sufi Syi’ah pada umumnya. Kita juga tahu bahwa kaum sufi yang tergolong Sunni, seperti Abu al-Nashr al-Thusi (w. 378 H.) dalam karyanya al-Luma’, al-Kalabadzy (380 H.) dalam karyanya al-Ta’rifah, Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Utsman al-Jalaby al-Hujwiri dalam karyanya Kasyfu al-Mahjub, dan Abu al-Qasim Abdul al-Karim bin Hawajan al-Qusaeri dalam karyanya al-Risalah al-Qusayriyyah Fi ‘Ilmi al-Tasawwuf, telah membahas dan meyakini paham fana sebagai bagian dari spiritual Islam yang tidak bisa diabaikan. Dan kedua, fanâ` fî al-fanâ`, yaitu menghancurkan badan untuk bertemu dan menyatu dengan Tuhan, seperti al-Hallaj.

Akan tetapi jika memakai bahasa al-Qusaeri, dia berpendapat bahwa “di dalam doktrin fana telah memiliki tiga hierarki fana, yaitu fana (lenyap) dari eksistensi diri dan karakteristik manusiawinya dan kekal (baqa) dengan karakteristik al-Haq (Sang Maha Benar). Kemudian lenyap dari karakteristik al-Haq dengan sebab dia, sang sufi, musyahadah (menyaksikan) akan kehadiran al-Haq. Kemudian lenyap dari persaksian akan lenyapnya diri dengan hancur-leburnya (atau lumer) diri di dalam wujud al-Haq”.[38] Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri memberikan penafsiran atas ketiga hierarki fana di atas bahwa, “al-baqa (kekal) dengan karakteristik al-Haq” artinya adalah bersih atau steril dari semua sifat-sifat tercela, dan hanya dihiasi dengan sifat-sifat terpuji, di mana sifat-sifat itu adalah sifat-sifat yang disandang Allah (seperti sifat belas kasih, kasihsayang, mulia, dll). Dan ini adalah, dengan memakai “bahasa agama”, sebagai akhlak yang baik, dan tidak ada akhlak yang lebih baik dari akhlak tersebut. Dan maksud dari “lenyap dari karakteristik al-Haq dengan menyaksikan akan kehadiran al-Haq”, yaitu lenyapnya sang sufi dari semua sifat, karena dia tidak merasa meyaksikan apa-apa kecuali apa yang telah dia saksikan, dan sesuatu yang dia saksikan adalah Allah. Dia tidak merasakan kekal kecuali dia merasakan kehadiran Allah, dan ini adalah level yang disebut oleh sebagian sufi dengan “wahdatul al-syuhud”, seakan subjek yang menyaksikan dan objek yang disaksikan adalah entitas yang satu. Dan maksud dari “lenyap dari persaksian akan lenyapnya diri dengan hancur-leburnya (atau lumer) diri di dalam wujud al-Haq” yaitu, bahwa ungkapan ini dengan jelas menunjukkan paham “wihdatul al-wujud”, karena subjek yang menyaksikan dan objek yang disaksikan, di dalam semua keadaan, adalah dua entitas wujud, di mana keduanya menyatu menjadi satu entitas wujud.[39] Seakan al-Quraeri menganggap bahwa wihdatul al-wujud adalah hierarki fana yang lebih tinggi dari level fana yang telah disebutkan di atas.

Dan paling mengejutkan lagi bahwa, menurut Goldziher, beribadah dan berserah diri pada Tuhan dengan bertasbih (menyebut nama-nama Tuhan dan Nabi Muhammad) dengan alat tasbih, yang sudah merupakan pekerjaan konvensional kaum sufi, tidak syak lagi hal itu berasal dari India. Dan penggunaan tasbih di dalam Islam, dipastikan mulai pada abad ke-9 M.[40]

*****

Filsafat Yunani setelah berpindah ke Iskandaria, dia bukan sekedar spekulasi rasional yang dangkal dan kering. Di Iskandaria muncul madzhab filsafat baru yaitu Neo-Platonisme, yang berusaha menggabungkan rasionalitas Yunani dan agama. Ketika dikawinkan antara keduanya,  filsafat dan agama, yang terjadi adalah “memfilsafati” mistis dan merasionalkan yang irasional. Karena itu, wacana metafisika, spiritualitas dan sufisme tumbuh subur di kalangan madzhab Neo-Platonisme. Dan selanjutnya, Neo-Platonisme adalah salah satu aliran pemikiran yang telah banyak memberikan inspirasi atau mengilhami para filsuf Islam dan kaum sufi.[41]

Konsep wihdat al-wujûd atau ittihâd al-‘âqil wa al-ma’qûl adalah salah satu pengaruh dari pemikiran Neo-Platonisme. Alam dan Tuhan adalah satu entitas kesatuan. Qasim Ghani, pemikir Iran, dengan sangat berani mengatakan bahwa, yang memiliki kecenderungan pada pemikiran wihdat al-wujûd tersebut bukan hanya para teosof dan kaum sufi, akan tetapi juga seorang filsuf Islam Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang tergolong pada filsuf paripatetik. Konsep ketuhanan Ibnu Sina dalam karyanya Mantiq al-Masyriqiyyîn, Ibnu Tufail dalam buku Hay bin Yaqzhân dan Ibnu Rusyd dalam buku Tahâfut al-Tahâfut  sangat jelas pengaruh Neo-Platonisme di dalamnya, yaitu kecenderungan pada sebuah pemikiran bahwa alam dan Tuhan menyatu, tidak ada dualisme di antara keduanya. Sudah jelas bahwa wihdat al-wujûd adalah salah satu pemikiran Neo-Platonisme yang telah diyakini kebenarannya oleh para sufi. Mereka berpendapat bahwa, alam adalah cermin bagi al-Haq dan segala yang ‘maujud’ adalah seperti cermin di mana Tuhan memanifestasikan diri di dalamnya, hanya saja semua cermin adalah kulit eksoteris, sementara wujud mutlak dan hakiki adalah Tuhan.[42] Dan Maulana Jalaluddin al-Rumi dianggap sebagai orang yang paling bagus dalam menguraikan pemikiran Plato dan Neo-Platonisme.[43] Dan teori emanasi Neo-Platonisme adalah salah satu teori yang bayak diapresiasi dan diamini oleh para teosof Islam.

Di tangan Ibnu Arabi (569 H./1169 M.-638 H./1417 M.), konsep wihdat al-wujûd terjadi kristalisasi dan menjadi konsep yang komprehensif. Sementara, seperti menurut Abul al-‘Ala ‘Afifi, Ibnu Arabi telah mengadopsi dimensi filsafat wihdat al-wujûd dari Rasâ`il Ikhwân al-Shafa, mengambil pemikiran emanasi dari Ikhwan al-Shafa dan memasukkannya ke dalam madzhab wihdat al-wujûd.[44] Maka kita pun menemukan korelasi antara dia, Ibnu Arabi, dan Rasa’il tersebut dalam pemikiran al-Insân al-Kâmil (perfect man/manusia sempurna). Dan Ikhwan al-Shafa (persaudaraan suci) adalah komunitas yang struktur filosofinya diilhami oleh filsafat Yunani. Namun antara Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Arabi berbeda dalam tataran terminologi saja, seperti Ikhwan al-Shafa menggunakan istilah manusia utama (al-Fâdhil), sementara Ibnu Arabi menggunakan istilah al-Insân al-Kâmil. Namun pada tataran esensi,  keduanya adalah sama.[45]

Ibnu Arabi dan Abdul al-Karim al-Jili (w. 805 H./1417 M.) dalam memaparkan al-Insan al-Kamil dengan mendikotomisasikan posisi antara manusia dan alam semesta. Mereka menganggap bahwa manusia adalah alam kecil (micor cosmos/’alam al-shaghir) dan alam semesta adalah manusia besar (macro cosmos/insan al-kabir).[46] Dan pemikiran micro cosmos dan macro cosmos tersebut adalah pemikiran yang sudah klasik, kita telah menemukan di dalam pemikiran filsafat Yunani klasik sebelum Socrates. Orang yang pertama kali mengungkapkan adalah Heraclitus (Abad ke-6 S.M.). Pemikiran ini ditransformasikan sampai kepada filsafat Islam melalui legasi (khazanah klasik) Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[47]

Al-Insân al-Kâmil (manusia sempurna) dan manusia ideal yang dimaksud para sufi adalah Isa As. bukan Muhammad. Al-Hallaj menganggap bahwa tabiat Ilahi yang terkumpul antara dimensi al-lâhût dan al-nâsût yang sangat kuat adalah terdapat pada diri Isa As.,[48] dan Harits al-Mahasibi (w. 243 H./858 M.) dan Hakim al-Turmudzi (w. 285 H./898 M.) manganggap bahwa Isa As. adalah khatam al-auliyâ` (pungkasan para wali). Dan menurut Adam Mith bahwa pandangan sufistik al-Mahasibi yang ada pada karyanya al-Ri’âyah li Huqûq Allah dan al-Washâyâ, sama persis dengan perkataan Yesus yang ada di Injil Lukas.[49]

Ikhwan al-Shafa dalam Rasâ`il-nya, sangat kentara betapa mereka sangat apresiatif dengan pemikiran Neo-Platonisme. Dr. Abd al-Lathif Muhammad al-Abd mengatakan bahwa madzhab Neo-Platonisme sangat berpengaruh terhadap Rasâ`il. Ikhwan al-Shafa sepakat dengan Neo-Platonisme bahwa alam adalah satu organisme yang hidup yang sempurna, yang berdenyut seiring dengan perjalanan roh di semua organnya. Lalu Tuhan menciptakan akal awal, dan dari aktifitas akal memancar nafas universal dengan menduduki pada pergerakan huyûli awal; panjang, lebar dan dalam. Maka darinya muncul jasad mutlak yang terstruktur cakrawala, bintang gemintang dan pilar. Kemudian muncul bahan tambang (logam), tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dan kita menemukan bahwa metafisika menurut Ikhwan al-Shafa terletak pada tritunggal yang sakral, yaitu: yang esa, ruh dan nafas. Pemikiran seperti ini pun kita temukan pada Neo-Platonisme.[50]

Ihwal jiwa manusia, Ibnu Arabi pun mengadosi dari Neo-Platonisme, akan tetapi tidak secara total, di sana ada orisinalitas dan bersikap ekletis; dia setuju pada sebagian dan tidak pada sebagian yang lain. Majid Fakhri berkata, “Ihwal jiwa manusia, sebagai lazimnya kaum Neo-Platonis, Ibnu Arabi membedakan antara jiwa manusia yang rasional dan jiwa binatang yang irasional. Kendatipun demikian, Ibnu Arabi menolak gagasan Plato dengan tegas tentang terjadinya kontak atau papasan (ittishâl) antara jiwa rasional dan Akal Aktif di tepian (periphery) alam dunia ini. Sebaliknya dia berpendapat setelah berpisah dari raganya, jiwa manusia akan berpindah ke falak (sphere) yang tidak berbeda dengan dunia rendahan ini. Falak itu secara khusus diciptakan oleh Tuhan sebagai tempat tinggal yang kekal. Secara tandas Ibnu Arabi menyatakan bahwa jiwa adalah substansi yang sepenuhnya terpisah dari raga.”[51]

Karakter keterpengaruhan Ibnu Arabi oleh Neo-Platonisme juga adalah penggunaan terminologi filsafat Platonisme dalam penafsirannya terhadap permulaan penciptaan. Dia berpendapat bahwa benda awal yang pertama diciptakan Tuhan adalah benda-benda al-arwâh al-malakiyyah al-muhaymah (roh-roh malaki yang domain) dalam kebesaran Tuhan. Di antaranya, akal pertama, nafas universal, dan benda-benda iluminatif (al-nûriyyah) yang diciptakan dari cahaya sang maha besar yang telah berahir kepadanya. Sangat wajar jika Ibnu Arabi telah dijuluki sebagai Ibn Aflâthûn (Anak Plato) atau Platonis, disamping tersohor juga dengan gelar Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al-Syeikh al-Akbar (doctor maximus).

Pengaruh Neo-Platonisme bukan hanya pada para teosof Islam yang tergolong tasawuf falsafi, akan tetapi juga meramba pada sosok al-Ghazali yang tergolong seorang yang getol mensintesakan tasawuf dan syari’ah. Abul al-‘Ala ‘Afifi menjeneralisir (pukul rata) berkata bahwa,

“al-Ghazali dan kebanyakan para filsuf Muslim menggunakan terma Neo-Platonisme, akan tetapi dengan pembacaan cerdas yang menghasilkan makna baru. Mereka menghadapinya dengan mengeluarkan makna asal dari terma tersebut. Dan ini adalah inovasi dan orisinilitas pemikiran mereka, tidak sekedar membeo.”[52]

Ada inofasi (ibda’) yang diupayakan para teosuf Islam kelasik dalam mengusung konsepsi filosofisnya, tidak melulu mentransformasikan secara bulat-bulat filsafat dari peradaban lain.

Interaksi Tasawuf, Budaya dan Agama Lokal

KITA tahu, bahwa peradaban Arab adalah peradaban syair dan sastra.[53] Semenjak Arab pra-Islam samapai paska-Islam, syair dan sastra tetap berlanjut dan dipertahankan. Bahkan lebih jauh, syair yang telah dihasilkan oleh para penyair Arab, telah mempengaruhi para sufi. Syair-syair yang mengekspresikan hub al-‘udri (cinta murni) antar manusia (cinta lawa jenis), dengan secara kreatif digubah oleh para sufi menjadi cinta kepada Tuhan; perubahan objek cinta dari perempuan/laki-laki diganti menjadi Tuhan.

Adalah Qais, seorang yang mabuk kepayang cinta kepada seorang perempuan Layla, yang mulutnya telah menyemburatkan ribuan syair cinta. Dalam pengalam cintanya, dia seakan adalah Layla sendiri. Dia majnun (gila) dalam cinta, sehingga di alam imajinasinya, Layla, perempuan yang dia cintai selalu menjelma, tidak ada makna yang bermakna selain Layla, semua sesuatu yang dilihatnya adalah Layla, dan sampai dia berkata “Aku adalah Layla” (Ana Layla), ini adalah perkataan klimaks dalam bergulat dengan cintanya kepada Layla. Tanpa lelah. Dan perkataan Qais “Ana Layla” serupa dengan perkataan al-Hallaj, yaitu ana al-Haq (aku adalah yang Haq), yang sama-sama (Qays dan al-Hallaj) mengindikasikan cinta yang menuju ittihad (penyatuan pecinta dan sang kekasihnya) dan fana.[54] Dan ini adalah indikasi adanya pengaruh dari budaya lokal Arab, yaitu syair, terhadap para sufi. Dan bahkan menurut Dr. Ghanami Hilal bahwa para sufilah yang telah mentransformasikan syair Qais dan lebih umum sastra Arab ke sastra Persia.[55]

Pada perkembangannya, setelah kesusastraan Arab telah ditransformasikan ke peradaban Persia, banyak para sufi Persia dalam mengemukakan pengalaman cinta ilahinya dengan menggunakan bahasa aforisma, cerita simbolik, dan syair. Bahkan sebagian pakar berpendapat bahwa justru kesusastraan Persia lebih dahulu daripada kesusastraan Arab dalam memprakarsai pengarangan syair dengan menggabungkan dan mengelaborasi antara syair keagamaan dan syair keduniawian; antara cinta Langit dan cinta Bumi, atau dengan kata lain, sebuah metode syair yang meliris syair cinta. Dan orang yang pertama kali mengusung metode syair seperti ini adalah sang master dari Kharasan, Aby Sa’id Ibnu Aby al-Khayr (w. 440 H./1048 M.), dan metode syairnya telah dilanjutkan dan diperbaharui oleh al-‘Attar.[56]

Akan tetapi, menurut Dr. ‘Athif Jaudah Nashar, bahwa tidak tepat kalau dikatakan orang yang pertama kali mengusung metode syair yang menggabungkan antara syair keagamaan dan syair keduniaan adalah Aby Sa’id Ibnu Aby al-Khayr, karena Abu Bakar al-Sibli (w. 334 H./945 M.), adalah juga orang yang telah menggunakannya, di mana dia telah mendahului Aby Sa’id Ibnu Aby al-Khayr, jika dilihat dari kurun waktu. Dia -Abu Bakar Sibli- telah menggunakan simbol-simbol cinta Qays di dalam syair sufinya.[57]

Namun, para sufi yang dari Persia, tidak sedikit yang mengungkapkan cinta dan pengalaman spiritualnya dengan bahasa aforisma dan syair. Sekedar sebagai misal, Hakîem Sanâ’î al-Ghaznawî, dengan karya Matsnawiyat Hakîm Sanâ’î atau Sya’ir Sanâ’î al-Ghaznawî, Hafidz al-Syairâzi, dengan karya Aghanî Syairâzi atau Ghazaliyat Hafidz al-Syairââzi Sya’ir al-Ghina’ wa al-Ghazal fi Iran, Sa’dîe Syairâzi, dengan karya Ghazaliyat Sa’dîe, Jalaluddin al-Rumi dalam karyanya yang terkenal Matsnawi dan Diwân Syams al-Dîn al-Tabrîzi, Farid al-Din al-‘Attar, dalam karyanyan Ilahy Nama, Musibah al-Nama dan Mantiq al-Tayr, Ibnu Arabi dalam karyanya Tarjuman al-Aswâq, Abdurrahman Jami dalam karyanya Solomon wa Absal dan Yûsuf wa Zulaykha, Abu al-Majd Majdud bin Adam, yang dikenal dengan sapaan al-Hakim Sana’i, yang telah berhasil menciptakan sebelas ribu bait syair sufi yang memiliki bobot kesusastraan yang tinggi, di mana dia telah dianggap sebagai penyair sufi besar Islam-Persia[58] dan masih banyak lagi sufi lain yang telah menggunakan bahasa aforisma dalam mengungkapkan ekperimentasi spiritualnya. Dan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa hanya para sufi atau teosof sajalah yang bisa menyumbangkan syair kepada kesusastraan Islam dan dunia, sementara dari kalangan lain, filsuf dan apalagi para fuqaha, bisa dikatakan tidak ada satu pun yang telah memberikan sumbangan syair atau aforisma ke dalam kesusastraan Islam dan dunia yang berpengaruh dalam konteks spiritual.

Kebudayaan dalam bahasa aforisma dan syair terletak pada penggunaan diksi yang syarat makna simbolisme. Bahasa simbolisme itu diambil dari diksi yang biasa lumrah dan akrab digunakan dalam aktifitas percakapan sehari-hari. Bahasa yang merakyat, tapi penuh arti. Di antar kata-kata yang sering digunakan oleh para sufi, seperti cermin, perempuan, dan khamr (arak) yang memabukkan. Hâfidz Syairâzî, sebuah misal, di dalam syair-syair cinta Ilahinya seringkali menggunakan kata-kata “khamr” (arak) yang memabukkan. Jika kita mentafsiri secara literalis, maka kita akan terjerembab pada kubangan kesalah fahaman yang akut. Bahkan kita bisa menuduh Hâfidz Syairâzî sebagai seorang peminum minuman keras yang memabukkan, yang nota-bene dikharamkan oleh syari’ah Islam. Namun sejatinya yang dimaksud dengan “khamr” di dalam sya’irnya adalah khamr al-ilahiyah (arak ketuhanan) yang memabukkan dalam suasana gila oleh cinta Ilahi. Dia merasa mabuk oleh cinta-Nya, tak sadarkan diri, bagaikan orang yang mabuk karena minuman arak.[59]

Bahasa simbolisme seringkali mendulang interpretasi yang beragam, lantaran ia sejenis bahasa yang ambigu, atau terkadang bahasa simbolis bersifat paradok antara makna yang dimaksud yang tersembunyi di balik teks berbeda dengan makna literalisnya. Karena itu sering kali disalah fahami. Seperti ketika Tarjumanul al-Asywaq, karya Ibnu Arabi, terbit, oleh sebagian besar para ulama pada masanya disalah fahami dan bahkan dituduh sebagai karya yang telah mencerminkan sebuah cinta hewani yang penuh dengan nafsu birahi manusia. Padahal yang diinginkan oleh sang pengarang (teh outhor) sebagai lirisan syair-syair cinta Ilahi. Karena itu, Ibnu Arabi memberikan komentar (syarh) atas Tarjumanul al-Asywaq, dengan tajuk Fathu al-Dzakhair wa al-Aghlaq Syarh Tarjumanul al-Asywaq, dalam upayanya untuk menjelaskan isi kandungan syair-syair cinta Ilahi tersebut.[60]

******

Tak berlebihan jika ada hipotesa bahwa berhasilnya Islam bercokol dengan akar-akar yang menghunjam ke bumi Indonesia adalah hasil perjuangan para pembawa Islam awal yang sudah bersusah-payah mengadaptasikan doktrin dengan budaya dan agama lokal yang pada waktu itu telah lekat dan dianut oleh masyarakat Indonesia. Upaya pengadaptasian antara doktrin dan adat pun dilakukan dengan dianalogikan bahwa adat adalah bejana atau wadah dan doktrin adalah isi yang telah mengisi bejana, adat, yang telah menggantikan isi dan nilai lama dari bejana tersebut. Sehingga keduanya menyatu, saling memperkuatkan satu sama yang lainnya. Hal ini dikarenakan mereka para pembawa Islam awal ke Indonesia adalah para sufi, yang secara arif dan bijaksan dalam menghadapi budaya, tradisi dan kesenian lokal. Sebagai misal, pewayangan dan alat musik tradisional, seperti gamelan, bonang (kenung), dan yang lainnya tidak diberangus dalam proses Islamisasi tanah pertiwi, melainkan dibiarkan dan bahkan dijadikan sebagai “Kuda tunggangan” dalam menyebarkan dan mendakwakan Islam.

Wajar jika Oliver Leaman, seorang pofesor filsafat di John Moores Liverpool University, berpendapat bahwa, “Negara dengan populasi Muslim terbesar, Indonesia, memeluk Islam lewat sufisme. Para dai terdahulu tidak memerintahkan orang Indonesia meninggalkan adat mereka, seperti pertunjukkan wayang yang mungkin terlihat agat tidak pantas dari sudut pandang Islam, tetapi secara bertahap memperkenalkan karakter Islam ke dalam pertunjukkan itu. Di mata sufi ini adalah contoh yang baik dalam menggunakan musik dan alat seni lainnya untuk lebih mendekatkan orang kepada Islam dan kepada Tuhannya. Pada dirinya sendiri, tidak ada yang merangsang atau tidak merangsang tentang musik itu sendiri, seperti juga semua hal lainnya. Hanya saja, ketika dihubungkan dengan agama, aktivitas seperti itu bersentuhan dengan nilai moral”.[61]

Sejatinya alat musik pada esensinya (dzakhily) tidaklah dikharamkan. Yang menyebabkan alat musik dikharamkan karena faktor eksternal (kharijy), seperti alat musik digunakan untuk mengundang kemaksiatkan dan kelalaian kepada Tuhan (lahwun).[62] Dan justru di dalam tradisi sufistik, alat musik menjadi sarana menuju Tuhan, dan media yang bisa memancing perasaan ekstase serta menaikkan kepekaan spiritual dengan sentuhan kelembutan nada dan not-not-nya. Adalah para sufi Darwis pengikut tarikat Maulawiyyah, yang memiliki tradisi tarian sufi sambil diiringin dengan musik dalam ritual sufistik, sembari sima’ (mendengar dan menghayati dendangan bait-bait syair sampai entitas diri lumer dan ekstase) yaitu tarikat yang dikembangkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi, yang mendapatkan pengaruh tradisi teofanik sang Guru spiritual, yaitu Syamsuddin al-Tabrizy. Sima’ selanjutnya menjadi tradisi para sufi generasi paca-Jalaluddin Rumi. Terdapat banyak sufi yang berusaha menggunakan sima’ sebagai “pancingan” terhadap situasi eksatse puncak, di antaranya yaitu Shadrud al-Din Qanawi, Sa’du al-Din Hamuwy, Majdu al-Din Baghdadi, dan para sufi besar lainnya. Bahkan al-Syekh Najmu al-Din Kubra yang awalnya telah mengingkari sima’, akan tetapi pada akhirnya dia membenarkan dan mengamalkannya.[63]

Oliver Leaman menggambarkan ritual tarian mistik para sufi Darwis pengikut tarikat Maulawi, sebuah tarikat yang telah didirikan oleh bapaknya Jalaluddin Rumi, yang kemudian dilanjutkan oleh Rumi, yang sampai sekarang masih berkembang dan berbasis di Turki. Leman menggambarkan bahwa,

“Mereka berputar dengan sangat cepat mengikuti musik, membentuk lingkaran di sekeliling syaikh, pemimpin spiritual mereka. Berputar menggambarkan kesadaran individu akan keberadaan Tuhan di mana pun berada, lingkaran di sekeliling syaikh menggambarkan alam, dan pada bagian tengah-tengahnya, bumi. Tangan-tangan mereka diangkat, tangan kanan mereka menghadap surga untuk menerima berkahnya dan untuk menerima rahmat Tuhan, sedangkan tangan kiri menunjuk ke bawah untuk mengisyaratkan bahwa mereka mewariskan berkah tersebut kepada generasi-genarasi selanjtnya”.[64]

Kitapun tahu, bahwa para dai Islam awal dan para sufi selanjutnya di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh pandangan sufistik para sufi besar tersebut. Sebagian para sufi Indonesia (atau biasa disebut dengan sufi Nusantara) menguraikan pengalaman bathin dan spiritualitasnya dengan bahasa aforisma, puisi dan syair. Seperti Rangga Warsita dan Hamza Fansuri adalah sufi garda depan yang membahasakan pengalaman sufistiknya dengan bahasa puisi dan aforisme dimana sebagian karya-karyanya masih bisa kita nikmati saat ini.

Di pulau Jawa, para sufi Islam yang telah berhasil meng-Islamisasi-kan penduduk Jawa dan Nusantara juga sebagian besar dari mereka berusaha mengisi kebudayaan Jawa-Hindu dengan spirit Islam. Mereka berhasil memfungsikan Wayang sebagai alat dakwahnya. Dan bahkan mereka berhasil merilis syair dalam sejumlah tembang Jawa yang cukup beragam, seperti tembang macapat, mijil, dan syair lir-ilir yang masih sering didendangkan oleh umat Islam Indonesia sampai sekarang.

Kita tahu bahwa bahasa aforisma dan puisi adalah bahasa yang padat, kaya dengan simbol-simbol, syarat makna dan sulit untuk ditembus. Akan tetapi jika kita bisa (atau mampu) menembusnya atau menggalinya, maka kita akan menemukan makna yang cukup luas dan berlapis-lapis. Karena itu, satu orang dengan orang yang lain akan berbeda dalam menemukan makna yang bersemayam di balik bahasa aforisma dan puisi tersebut sesuai dengan kapasitas pengetahuan dan pengalaman bathin (atau kontemplasi) masing-masing.

Jelas bahwa para sufi yang telah mengislamkan penduduk Jawa telah menanamkan Islam secara akulturasi. Berbeda dengan kebanyakan sufi yang lain, adalah Syekh Siti Jenar, salah satu sufi yang cara pandang sufistiknya kontras dengan mereka, yang biasa dijuluki dengan “al-Hallaj-nya tanah Jawa”, telah menanamkan Islam bukan hanya secara akulturatif, tapi lebih jauh, yaitu dengan secara asimilasi. Pandangan sufistik Islam diramunya dengan mistik Jawa.

******

Kita pun menemukan corak sufistik, yang apresiatif dan akulturatif dengan agama lokal, di Persia. Hampir menjadi animo yang aksiomatik bahwa, nyaris semua teosof Islam-Persia mengapresiasikan pemikiran produk agama lokal yang berkembang dan telah kuno bercokol di Persia. Mereka sangat adaptif dengan agama nenek moyangnya. Mereka mayoritas adalah para illuminasionis Islam. Peradaban Persia pra-Islam adalah imperium besar di daerah bagian Timur dan Romawi di bagian Barat. Di Persia tumbuh berkembang agama Zoroaster, Mani dan Mazdak. Dan agama-agama itu sangat berpengaruh terhadap pemahaman keagamaan orang-orang Persia yang telah masuk Islam. Mereka tidak mencerabut secara radikal pemahaman keagamaan dulunya, melainkan tetap mempertahankannya dengan berusaha diadaptasikan dengan doktrin Islam.

Kalau kita runut sejarahnya, pengaruh agama-agama Persia dimulai semenjak awal abad ke-2, setelah pergantian rezim dan dinasti, dari dinasti Umawiyah yang Arab dan beribukota di Damaskus digantikan oleh rezim Abasiyah yang berpusat di Bagdad yang bertetangga dengan Persia. Dan semenjak itu, dinasti telah mengutus para menteri ke Persia untuk keperluan diplomasi para penyebar agama dalam usaha mendakwahkan Islam kepada orang-orang Persia, dan para penerjemah yang berhasil menerjemahkan khazanah Persia ke dalam bahasa Arab. Di antara nama-nama orang Persia awal yang telah masuk Islam, yaitu Abu Salamah al-Khilal, Abu Ayyub al-Muryani, Ya’qub bin Dawud, Yahya al-Murmuki, Bani al-Sahl, yang termasuk anak-anak raja Persia. Dan dari kalangan penulis yaitu, Ibnu al-Muqaffa’ Ali Nubakhthi, al-Hasan bin al-Sahl, al-Baladzari, Jabalah bin Salim, Ishaq bin Zayd, dan yang lainnya. Kita tahu bahwa Ibnu al-Muqaffa’ adalah orang yang beragama Zoroaster dan kemudian masuk Islam, dengan tanpa meninggalkan agama lamanya secara total. Dan selanjutnya Zoroaster telah diapresiasi lagi oleh Suhrawardi dalam pandangan (Isyraq) illuminasi-nya.[65] Dan Rasâ`il Ikhwân al-Shafa adalah karya yang sangat kental dengan pengaruh pemikiran Persia kuno. Karena salah satu kontributornya adalah teosof Islam keturunan Persia, yaitu Abdullah Maymun (w. 260 H.).

Adalah Suhrawardi ikon dari golongan illuminasionis Islam-Persia, yang dengan antusias mengekspresikan pemikiran yang ada pada agama lokal. Faktor yang sangat mempengaruhinya karena dengan kefasihannya berbahasa Persia, dia bisa menyelami alam pemikiran Persia sebagai agama lokal. Dia juga telah menerjemahkan buku karya Ibnu Sina dari bahasa Arab ke dalam bahasa Persia.

Kita menjumpai terma Persia dalam Hikmat al-Isyrâq dan karya yang lain, seperti terma cahaya dan kegelapan, atau peminjaman nama-nama para teosof dan para Nabi Persia kuno. Tetapi terma tersebut hanya sebatas peminjaman terma saja. Seperti halnya juga kita tahu bahwa banyak sekali terma Yunani dan yang lainnya, pada era penerjemahan, masuk pada dunia Islam. Akan tetapi ada upaya-upaya untuk dikosongkan dari esensi makna yang sesungguhnya dan diisi dengan makna baru yang diambil dari peradaban Islam. Seperti Akal Aktif (al-‘Aql al-Fa’âl) diganti atau diterjemakan dengan Jibril atau al-Lauh al-Mahfud dan wajib al-wujud atau yang esa diganti dengan Allah.[66]

Suhrawardi pun meski mengadopsi terma cahaya (al-nûr) dan kegelapan (al-zhulm) yang ada dalam pemikiran agama lokal, Persia, dia juga secara kreatif mengisinya dengan esensi yang sesuai dengan doktrin Islam esoteris. Kalau agama lokal Persia berpandangan bahwa ada dua Tuhan: Tuhan cahaya dan kegelapan, yang keduanya berdiri sendiri. Sementara Suhrawardi memahaminya sebagai perwujudan illuminasi. Yakni, semakin satu obyek dekat dengan sumber cahaya maka ia akan semakin mendapatkan intensitas cahaya lebih banyak. Tapi semakin ia jauh dari sumber cahaya maka ia akan mendapatkan intensitas cahaya semakin sedikit. Jika terus menjauh, maka intensitas cahaya akan terus berkurang, sampai redup dan seakan gelap tidak ada cahanya. Ketidakada-an cahaya atau gelap, bukan berarti tidak adanya cahaya, tapi karena jauh dari sumber cahanya. Sumber cahaya itu adalah Tuhan, yang dibahasakan di dalam al-Quran dengan Nur ‘Ala al-Nur. Bahkan, Suhrawardi adalah seorang teosof Islam yang dalam mengartikulasikan pandangannya selalu bersandar pada ayat-ayat al-Qur`an dan sunnah Nabi. Dan belum ada seorang teosof sebelum Suhrawardi dalam memaparkan pandangan filosofinya mengutip ayat-ayat al-Qur`an. Di dalam buku al-Syifâ`, karangan Ibnu Sina –semisal- tidak ditemukan kecuali hanya satu ayat saja dalam  konsep ketuhanan.

Suhrawardi membedakan filsafat peripatetik dari illuminasi dengan Timur dan Barat, di mana Timur menggambarkan sumber illuminasi sementara Barat sebagai sumber paripatetik. Dia mengatakan bahwa kota Qairuwan di daerah Yaman yang berada di kawasan Timur Islam, sebagai perlambang isyraqi-nya, sedangkan Transoxiana (ma wara’a al-nahar) dianggap sebagai perlambang bagai filsafat peripatetik.[67] Dan kita tahu bahwa hadirnya filsafat illuminasi bertujuan sebagai kritik terhadap kekurangan dan kelemahan filsafat peripatetik-Aristotelian.[68]

Pengaruh illuminasionis Suhrawardi sangat kuat pada bangunan teosofi Islam-Persia generasi selanjutnya. Mereka mempelajari, mengembangkan dan mengabadikan sampai saat ini. Bahkan karya utamanya, Hikmat al-Isyrâq menjadi buku dasar kajian filsafat di Persia. Banyak para tokoh Persia yang menaruh perhatian pada karya-karyanya. Syams al-Din Muhammad al-Syahrazuri, adalah salah satu murid Suhrawardi yang menulis komentar atas buku Hikmat al-Isyrâq dan al-Talwîhât. Selain al-Syahrazuri, beberapa tokoh lain juga melakukan kajian atas karya Suhrawardi, yaitu Ibnu Kammunah (w. 667 M.), menulis komentar terhadap buku al-Talwîhât, Nashir al-Din al-Thusi (597 H./1201 M.–672 H./1274 M.) dan muridnya, ‘Allamah Hilli.

Bahkan tradisi isyraq masih terus dipertahankan oleh para filsuf kontemporer Iran. Di antara sekian filsuf Iran yang menghidupkan tradisi isyraq, adalah Sayyed Hossen Nasr, Mahdi Ha’iri Yazdi, dan bahkan Ayatullah Khumaeini, yang jelas-jelas memiliki dasar isyraq, yang dapat dilihat dalam Wilâyat al-Faqîh (Pemerintahan Ulama Fiqh), Mishbâh al-Hidâyah (Lentera Hidayah), komentar atas Fushusul al-Hikam, Ibnu ‘Arabi, dan tulisan-tulisan yang lain. Perhatian mestilah juga ditujukan kepada Ayatullah Taliqani yang mengajukan interpretasi kiri Islam, Ayatullah Muntazhiri yang menulis filsafat politik, dan Allamah Ali Syari’ati yang bersikap agresif terhadap filsafat Islam tradisional dan, sebagai gantinya, dia mempertahankan penafsiran Islam yang radikal.[69] Jelas bahwa Wilayat al-Faqih yang diusung Ayatullah Khumaeini adalah dalam pemaknaan teosufis-mitis, bukna dalam pemaknaan sebuah gugusan fatwa dan ide atau penalaran ortodoksi hukum-hukum Islam, karena yang diandaikan adalah otoritas para ruhaniawan yang mendapatkan banyak intensitas cahaya ketuhanan (isyraq).

 

Penutup

KETERPENGARUHAN kaum sufi atau teosuf oleh pemikiran pihak lain adalah positif. Setidaknya menandakan jiwa inklusifisme yang sangat tinggi, meski kita tidak bisa secara gegabah mengatakan bahwa tasawuf adalah carbon copy dengan mengcopy paste pemikiran pihak lain. Karena di sana ada kreatifitas yang orisinil yang diupayakannya. Para orientalis yang mengkaji tasawuf Islam sering kali mengabaikan satu faktor yang sangat menentukan dalam dunia sufi, yaitu faktor “pengalaman spiritual”, kalau diistilahkan oleh Suhrawardi, Mulla Sadra dan teosuf Syi’ah pada umumnya dengan “‘ilmu al-khurdlurî” (Knowledge by Presence), dan diistilahkan oleh Ibnu Sab’ien dengan “al-tahqîq” (riset). Sehingga para orientalis dalam mengkaji tasawuf dengan tidak ada rasa empati, dan dengan “gegabah” men-jeneralisir sejumlah produk spiritualitas Islam sebagai sesuatu yang imitasi dan tidak orisinil. Metode filologi yang mengandaikan ta’tsîer wa ta’atsîr (mempengaruhi-dipengaruhi) ketika diterapkan dalam kajian tasawuf dan filsafat, sering kali mengeringkan esensi, generalisir dan reduktif.

Saya katakan meskipun dalam proses pembentukan pemikiran para sufi memunguti ide spiritualitas Liyan, budaya dan agama lokal, namun pada akhirnya mereka juga telah mempengaruhi para pemikir setelahnya. Dante Algeri, di dalam Divine Comedy (Komedi Ilahiyah) telah terpengaruh oleh Ibnu Arabi dan Abu al-‘Ala Ma’ari. Dan Spinoza juga telah terpengaruh oleh Ibnu Arabi. Dan masih bayak lagi pemikir yang terpengaruh oleh para sufi Islam, yang tidak perlu disebutkan satu persatu.

Sampai di sini kita sadar, bahwa dalam menghadapi pemikiran dan ide spiritualitas pihak Liyan butuh kearifan dan obyektivitas yang tinggi. Dan para sufi sudah membuktikannya bahwa mereka telah bersikap arif dan bijaksana dalam menghadapi pihak Liyan dengan segala pemikiran dan ide-spiritualitasnya. Dan tidak menghadapinya dengan secara frontal dan menganggap apa yang telah dihasilkan oleh pihal lain hanya pantas ditaruh di ‘tong sampah’, seperti cara penyikapan sebagian umat Islam. Dan barang kali kita butuh banyak belajar kepada para teosuf bagaimana caranya membangun kebijaksanaan, bukan hanya sebagai cara penyikapan, akan tetapi sebagai watak dan karakteristik kemanusiaan kita. Dan target pengandaian bahwa Islam bukan hanya milik orang Arab, melainkan milih semua manusia di seluruh dunia, dengan mengusung Islam yang berbeda dengan Islam-Arab, akan tetapi mengusung Islam-Indonesia, yang bisa menyatukan identitas budaya dan identitas keislaman kita akan bisa tercapai. Sebagaimana para teosuf Persia telah berhasil mengusung Islam-Persia yang berkarakteristik khas Persia, yang berbeda dengan Islam-Arab. Bukankah tidak mudah dan butuh waktu panjang, dengan terus menerus tanpa lelah memperjuangkan tegaknya Islam yang ramah budaya?


[1] Terma “liyan” adalah bahasa Jawa Cirebon, sebagian daerah Jawa Tengah dan bahkan Jawa Timur, cuman dengan intonasi Liyone (dibaca dengan O, buka dengan A) yang artinya adalah “yang lain”, yang sering digunakan oleh Goenawan Muhammad, seorang penulis kondang, budayawan beken dan sang penyair besar Indonesia, seperti di dalam salah satu kata pengantar buku “Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, karya I Bambang Sugiharto, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, hal. 7-8.

[2] Penulis adalah mahasiswa Akidah dan Filsafat, tingkat akhir, Universitas al-Azhar Cairo, Mesir.

[3] Imam Agung kita, Ali bin Aby Thalib, dikaruniai pujian dengan kata-kata yang begitu suci “karamallahu wajhah”, setidaknya ada beberapa alasan: pertama, sejak kecil, Imam kita telah disucikan oleh Allah dari perbuatan maksiat, dan tidak pernah menyembah berhala. Kedua, sejak kecil sudah beriman sejati dan sudah memeluk Islam sebagai agamanya lahman wa dzamman. Ketiga, Imam kita tidak pernah melihat kemaluannya sendiri sejak kecil. Dan masih banyak lagi keutamaan beliau yang tiada taranya.

[4] Reynold A. Necholson, Fî al-Tashawwuf al-Islami wa Târîkhihi, diarabkan oleh Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, Cairo, Lajnah Ta’lif Wa al-Nashr, 1969, hlm. 80-81.

[5] Dr. Abdurrahman Badawi, Syahidah al-‘Isq al-Ilâhi Rabî’ah al-‘Adawiyyah, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Masriyyah, 1962, cat. II, hlm. 61.

[6] Dr. Muhammad Musthafa Hilmi. Ibnu al-Fâridl wa al-Hub al-Ilâhi, Kairo, Dar al-Ma’arif, t.t., cat. II, hlm. 140.

[7] Dr. Abdurrahman Badawi,op. cit., hlm. 64.

[8] Muhammad Musthafa Hilmi, op. cit., hlm.141.

[9] Reynold A. Nicholson, al-Shûfiyyah fî al-Islâm, diarabkan dari bahasa Inggris oleh Nuruddin Syuraybah, Kairo, Maktabah el-Khanzi, 2002, cet. II, hlm.19-20. Dan hal ini juga diungkapkan oleh Ahmad Amin di dalam Duhrul al-Islam, Beirut, Dar el-Kutub el-Ilmiyah, 2004, cet. I, volume, IV, hlm. 121.

[10] Ibid., hlm. 20.

[11] Dr. Abdurrahman Badawi, op. cit., hlm. 10-11.

[12] Reynold A. Nicholson, op. cit., hlm. 47

[13] Dr. Ali Syami al-Nasyar, Nasy`at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islâm, Cairo, Dar al-Ma’arif, volume. III, cet. IX, t. t. hlm. 84-85.

[14] Dr. Hasan Hanafi, Hishar al-Zaman, Cairo, Markaz el-Kuttab Li al-Nasyr, volume. I, 2004, hlm. 320

[15] Dr. Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islami, Cairo, Dan el-Tsaqafah Li al-Nasyr wa al-Tauzyi’, cet. III, 1991, hlm. 70

[16] Qasim al-Gani, Tarikh Tasawuf Fi al-Islam, diarabkan dari bahasa Persia oleh Shadiq Nasyaat, Cairo, Nahdlah Masriyyah, 1972, hal. 37

[17] Dr. Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, op. cit., hlm. 70-71

[18] Husein Marwah, al-Naz’ah al-Maddiyah fi al-Falsafah al-Arabiyah al-Islamiyah, Dar el-Farabi, Beirut, jilid. II, cet. IV, 1981, hlm. 152

[19] Dr. Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, op. cit., hlm. 71

[20]Adam Mez, al-Hadlarah al-Islamiyah fi al-Qurn al-Rabi’ al-Hijry, diarabkan dari bahasa Jerman oleh Muhammad Abdul al-Hadi Abu Raydah, Cairo, al-Hay’ah al-Masriyyah al-‘Ammah Li al-Kuttab, cet. III, 2003, hlm. 10.

[21] Ibid., hlm. 40

[22] Reynold A. Nicholson, op. cit., hlm. 85

[23] Adam Mez, op. cit., hlm. 39-41

[24] Ahmad Amin, op. cit., hlm. 249.

[25] Ignaz Goldziher, al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah fi al-Islâm diarabkan dari judul asli Vorlesungen Uber Den Islam oleh Muhammad Yusuf Musa, Abdul al-‘Aziz Abdul al-Haq, dan Ali Hasan Abdul al-Qadir, Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, dan Maktabah al-Mutanabby, Bagdad, cet. III, t. t., hlm. 161.

[26] Ibid., hlm. 162.

[27] Ibid., hlm. 162-163.

[28] Abu Yazid al-Basthami, al-Majmû’ah al-Shûfiyyah al-Kamilah, Kassem Mouhammed Abbas (ed.), Damaskus, al-Mada, 2004, cet. I, hlm. 49.

[29] Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theologi and Mysticism, diindonesiakan oleh Zaimul Am, Bandung, Mizan, 2002, cat. II, hlm. 87.

[30] Lihat lebih lanjut: R. C. Zaehner, Hindu & Muslim Mysticism, diindonesiakan oleh Suhadi, Yogyakarta, LkiS, cet. I, 2004, hlm. 122-123.

[31] Lihat lebih jauh bagaimana ‘Abdul al-Wahab al-Sya’rani mentakwili al-syath (ujaran aforimsa sufistik) para sufi, seperti Abu Yazid al-Basthami, di dalam karyanya: (‘Abdul al-Wahab al-Sya’rani, Ta’wil al-Syath: al-Fathu Fi Ta’wil Ma Shadara ‘An al-Kammil Min al-Syath, yang diedit dan dikaji ulang oleh Qasim Muhammad ‘Abbas, Urdun, Azmilah lil-Nasyr wa al-Tauzi’, cet. I, 2003).

[32] Ibid., hal. 45-46

[33] Reynold A. Nicholson, op. cit., hlm. 24

[34] Ibid, hlm.75.

[35] Adam Mez, op. cit., hlm. 15.

[36] Reynold A. Nicholson, op. cit., hlm. 14-15.

[37] Lihat: Dr. Abdul al-Qadir al-Mahmud, Al-Falsafah al-Shûfiyyah fi al-Islâm, Cairo, Dar al-Fikr al-Arabi, t.t . hlm. 356.

[38] Lihat lebih lanjut, Abu al-Qasim Abdul al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyayriyyah Fi ‘Ilmi al-Tasawwuf, Beirut, Dar el-Kuttab el-‘Araby, t.t., hal. 37.

[39] Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, al-‘Aqlu al-Akhlaqy al-‘Araby, Beirut, Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah, cet. I, 2001, hal. 478-479.

[40] Ignaz Goldziher, op. cit., hlm. 164.

[41] Memang benar bahwa seorang filsuf Yunani yang terkenal di dalam tradisi filsafat Islam adalah Aristoteles, bukan Plato, akan tetapi sejatinya orang Islam-Arab pertama kali mempelajari filsafat Aristoteles dari komentar para filsof yang beraliran Neo-Platonisme terhadap karya Aristoteles, di mana filsafat ini bernuansa aliran Aflutin, Forforius dan Abrikles. Buku Ontologi Aristoteles yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada sekitar 840 M., tidak lain adalah sebuah ringkasan bagi aliran Neo-Platonisme (al-Aflatun al-Hadatsah). Ini artinya bahwa pemikiran Neo-Platonisme telah menyebar secara luas di kalangan umat Islam. Meski dianggap sebagai pemikiran Aristoteles. (Lihat: Reynold A. Nicholson, op. cit., hlm. 14)

[42] Qasim Ghani, Târîkh al-Tashawwuf fî al-Islâm, diarabkan dari bahasa Persia oleh Sadiq Nasyaat, dan dikoreksi oleh Dr. Ahmad Naji al-Qaysy dan Dr. Muhammad dan Dr. Muhammad Musthafa Hilmi, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Masriyyah, 1972, volume I, hlm. 118-143.

[43] Ibid., hlm. 143.

[44] Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, Min Ayna Isytaqa Ibnu ‘Arabi Falsafatuhu al-Shûfiyyah, salah satu pembahasan yang termuat di dalam Majalah Kuliyah al-Adab bi al-Jami’ah al-Masriyyah, Mei, 1933, hlm. 17-21.

[45] Dr. Kamil Musthafa al-Syibi, al-Shilah baina al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu’, Cairo, Dar al-Ma’arif  bi Masri, cet. II, hlm. 464-465.

[46] Lihat lebih lanjut: Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushus al-Hikam, Dr. Abu al-‘Ala Afifi (ed.), Irak, Maktabah Dae el-Tsaqafah, t.t., hal. 49. Dan lihat: Abdul al-Karim bin Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil Fi Ma’rifah al-Awakhir Wa al-Awail. Ragab Abdul al-Munshif Abdul al-Fatah al-Mutanawi (ed.), Kairo, Maktabah Zahran, t.t. di mana di dalam bukunya tersebut, dia telah membahas konsep al-Insan al-Kamil secara komprehensif.

[47] Lihat: W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. II, Cambridge University press, 1969, hal. 346, 381, 471.

[48] Dr. Abdul al-Qadir Mahmud, op. cit., hlm. 362.

[49] Adam Mez, op. cit., hlm. 11-12

[50] Dr. Abd al-Latif Muhammad al-Abd, al-Insân fî Fikr Ikhwan al-Shafa, Kairo, Maktabah al-Anggelo al-Mashriyyah, t.t., hlm. 56.

[51] Majid Fakhry, op. cit., hlm. 95.

[52] Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, di dalam pengantar buku Misykât al-Anwar, Abu Hamid al-Ghazali, Kairo, Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr, hlm. 17.

[53] Pendapat konvensional menyatakan bahwa al-Qur`an diturunkan kepada komunitas masyarakat pemuja kesusastraan dan syair. Syair adalah salah satu kebudayaan lokal bangsa Arab. Karena itu al-Qur`an diturunkan oleh Tuhan dengan bahasa yang mengandung kesusastraan yang sangat tinggi dan hal ini adalah kemukjizatan al-Qur`an. Di dalam al-Qur`an sendiri, Tuhan telah menantang para penyair Arab untuk mengarang dan menyusun kalimat seindah rangkaian kata al-Qur`an.

[54] Dr. ‘Athif Jaudah Nashar, al-Ramz al-Syi’ir ‘inda al-Shûfiyyah, Cairo, Maktabah Mishr li al-Tauzi’ al-Matbu’ah, cet. I. 1998, hlm. 134

[55]Dr. Ghanami Hilal di dalam buku Layla wa al-Majnun bayna Adab al-‘Arabi wa Adab al-Fârisi, yang telah dikutip oleh Dr. ‘Athif Jaudah Nashar. (Lihat: ibid., hlm. 134).

[56] Litah lebih lanjut: Dr. Abdurahman Badawi, al-Insan al-Kâmil fî al-Islâm, hlm. 57, yang dikutip oleh . Dr. ‘Athif Jaudah Nashar. (Lihat: ibid., hlm.134)

[57] Ibid., hlm. 135.

[58] Lihat: Prof. Dr. Malkah Ali al-Turky, sebuah kata pengantar di dalam mukaddimah buku Ilahy Namah, Fariduddin al-‘Attar, Kulliyah al-Adab-Jami’ah ‘Ainussyam, cet. II, 1998, hlm. 35-37

[59] Lihat lebih lanjut: Hafidz al-Syairazi, Aghani Syairaz, diarabkan dari bahasa Persia oleh Ibrahim Amin al-Syawarabi, Cairo, al-Majlis al-A’la Li al-Tsaqafah, volume. I, cet. I, 1945, hlm. 50-52

[60] Kesalah fahaman para ulama sejaman dengan Ibnu Arabi dan motifasi untuk meluruskan kesalah fahaman itu telah diceritakan oleh Ibnu Arabi sendiri. (Lihat: Muhyiddin bin Ali Ibnu Arabi, Fathu al-Dzakhair wa al-Aghlaq Syarh Tarjumanul al-Asywaq, Abdurrahman al-Musthawi (ed.), Beirut, Dan al-Ma’rifah, cet. I, 2005,  hlm. 217)

[61] Oliver Leaman, Islamic Aesthetics, diindonesikan oleh Irfan Abubakar, Mizan, Bandung, cet. I, 2005, hlm. 193-194

[62] Al-Nawawi, salah seorang pakar fikih Syafi’i menjelaskan dengan rinci hukum penggunaan alat musik. Dia mengatakan bahwa, “hukum alat musik tergantung pemakaian dan motif penggunaannya. Jika alat musik digunakan untuk meramaikan pesta pernikahan, khitanan, dan yang lainnya, atau untuk berperang, maka diperbolehkan. Lain halnya jika alat musik untuk (mengundang) kemaksiatan, maka baru tidak diperbolehkan”. Pandangan al-Nawawi tersebut menunjukkan bahwa alat musik pada hakikatnya diperbolehkan, selama digunakan untuk sesuatu yang tidak dilarang. (Lihat lebih lanjut, Imam Aby Zakarya Muhyiddin Bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, Dr. Mahmud Matrujy (ed.), Beirut,  Dar el-Fikr, 2000, jilid. 22, hlm. 222).

[63] Bandingkan Dr. Fuad Koprulu, Turk Edebiyatti’da Ilk Mutasavviflar, diarabkan dari bahasa Turki oleh Abdullah Ahmad Ibrahim, Kairo, al-Majlis al-A’la Li-Tsyaqafah, volume, II, cet. I, 2002, hlm. 54-55.

[64] Lihat: Oliver Leaman, Islamic Aesthetics, op, cit., hal. 123. Bahkan sebagian dari ulama fikih menyatakan bahwa raqsy (joged) diperbolehkan secara bulat-bulat (mutlak). (Lihat, Imam Aby Zakarya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, op. cit., hlm. 222)

[65] Dr. Abdul al-Qadir al-Mahmud, op. cit., hlm.18-19

[66] Dr. Hasan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Beirut, al-Tanwir, 1982, cat. I, hlm. 181.

[67] Syihab al-Din Suhrawardi, dalam salam satu karyanya Qisshat al-Gharbah al-Gharbiyyah, yang ada pada Majmu’ah al-Mushannafah Syekh al-Isyraq Syihab al-Din Suhrawardi, Henri Corbin (ed.), Teheran, volume. II, hlm. 276-277..

 [69] Majid Fakhry, op. cit., hlm. 145-146.

Sumber

2 comments

  1. Artikel yang luar biasa indah, mendalam, menginsfirasi. Walau demikian ada beberapa poin yang perlu kita diskusikan lebih dalam, Insya Allah saya akan menyampaikanya di hari2 mendatang kalau boleh.

  2. artikelnya penuh dengan filosofi 2 yang perlu dipelajari dan ditafakuri,namun yang lebih utama bagaimana cara pengamalanya sebab kalau tanpa bimbngan mursyd tentunya kita pasti akan bingung,sebab semuanya hanya merupakan pengantar sesaat sebelum…..

Tinggalkan komentar