Resensi; Pemikiran Liberal di Dunia Arab

Cover Buku Pemikiran Liberal di Dunia Arab

Cover Buku Pemikiran Liberal di Dunia Arab

Kajian atas buku: Pemikiran Liberal di Dunia Arab, karangan Albert Hourani, Bandung: Mizan, 2003

Memasuki pertengahan abad ke-18, Dunia Arab mulai dikejutkan pada sebuah getaran peradaban yang begitu berbeda. Kedatangan Bangsa Eropa dengan alam sekulernya, -yang memisahkan antara lembaga sosial-politik dengan keagamaan- telah melahirkan berbagai respons dari para pemikir di Dunia Arab, yang saat itu terkungkung dalam pemahaman Islam Ortodoks. Sejatinya, memang setiap hal yang baru ditakdirkan melahirkan respons pada tiga hal. Pertama, Menolak. Mereka yang melakukan hal ini percaya, bahwa barat hanya akan menularkan keburukan bagi peradaban Arab. Jika ada kebaikan yang muncul, kelak lambat laun kebaikan itu akan berubah menjadi keburukan juga. Selain itu, mereka yang menolak, juga takut, bahwa dengan adanya pengaruh barat, peran mereka yang sudah mapan dimasyarakat akan terpinggirkan. Kedua, Menerima. Penerimaan dilakukan hanya oleh percaya, bahwa untuk mengangkat derajat Bangsa Arab dibutuhkan sebuah hal yang baru, yang pada saat itu solusinya adalah peradaban barat. Ketiga, Menolak sambil Menerima. Artinya ada beberapa hal dari peradaban barat yang mereka tolak, tetapi mereka pun menerima bagian lainnya.

 

Dari ketiga hal diatas, buku Pemikiran Liberal di Dunia Arab yang ditulis Albert Hourani menempatkan dirinya pada pilihan ketiga, Menolak sambil Menerima. Dalam menunaikan fungsi pada penjelasan ini, Hourani mencoba menelusuri munculnya pemikir-pemikir arab yang terbaratkan mulai dari periode 1720 (laporan diplomat Turki mengenai Perancis) hingga 1798, yaitu sejak terjadinya penaklukan Napoleon atas Mesir. Hourani meyakini, bahwa dengan kedatangan Napoleon, maka dimulailah modernisasi pemikiran dan identitas kesadaran nasional bagi Mesir. Singkatnya, Napoleon datang ke Mesir tidak hanya untuk menaklukkan bumi Mesir, tetapi juga membuka mata rakyat Mesir –bahkan juga seantero Dunia Arab- mengenai ide-ide revolusi Perancis, yang meliputi: demokrasi, penegakan hukum yang bersifat universal, industrialisasi dan terutama mengenai kebebasan berfikir. Napoleon bahkan juga memproklamirkan, bahwa ia datang ke Mesir, justru untuk membebaskan Rakyat Mesir dari penjajahan dan penindasan bangsa Turki. Dengan ini, maka Napoleon dapat dianggap sudah membangkitkan nasionalisme Mesir.

Dalam uraian pembukaannya, Hourani berusaha memaparkan debat pemikiran liberal di Dunia Arab yaitu mengenai polemik “Negara Islam”. Dalam hal ini, Hourani sendiri menyangsikan keberadaan “Negara Islam”, apakah ini suatu perintah Tuhan atau semata sebuah kebetulan yang terbiasakan dalam pikiran saja. Hourani menuturkan “Masih disangsikan apakah proses itu (bernegara, pen) bisa terjadi seandainya umat Islam tidak memiliki -selama masa awal dan pembentukannya- struktur politik dan pemerintahan yang tunggal dan terpadu” (hal.16). Dengan kata lain, bagi Hourani, negara dalam pandangan Islam adalah sebuah fakta yang pernah terjadi dan kemudian ditingkatkan statusnya menjadi sebuah hukum syar’i. Seandainya saja, perangkat negara tidak terbentuk pada awal Islam, maka klaim negara islam juga tidak akan pernah ada.

Selanjutnya, Hourani menjajagi keberadaan pemikir liberal di Dunia Arab, dengan menguraikan pemikiran Al- Thahtawi, Khair Al-Din dan Al-Bustami. Ketiga orang ini, dianggap Hourani sebagai pemikir yang pertama-tama bersentuhan dengan barat, dan meyakini hanya dengan mencontoh baratlah Dunia Arab mampu bangkit dari keterpurukan. Dalam uraian ini, Hourani juga mencoba menunjukkan bahwa pada masa ini pemikiran liberal juga mendapat tempat dihati para penguasa. Hal ini, –sangat tampak pada kasus Mesir- terutama dilihat sebagai upaya untuk menumbuhkan perlawanan terhadap penguasa Turki yang mengklaim sebagai symbol negara Islam. Ketiga pemikir ini, meyakini maju tidaknya suatu bangsa tidak berhubungan dengan agama. Agama hanya mengurusi akhirat, sedang masalah dunia adalah tugas individual manusia sebagai pelaku sejarah. Khair al-Din misalnya menegaskan, “jika negara-negara muslim berusaha mengadopsi kemajuan eropa, tidak berarti mereka mengadopsi agama kristen”(hal.148). Dalam konteks ini, Al-Bustani telah melangkah lebih jauh dengan menekankan pada kebebasan beragama dan persamaan. Selain masalah persinggungan kemajuan dan agama, pada masa ini juga muncul semangat kebangsaan yang luar biasa. Bahwa penduduk daerah arab mulai tersadarkan, bahwa mereka adalah sebuah bangsa yang tersatukan lewat bahasa. Bahkan juga muncul gelombang pasang nasionalisme geografis dibeberapa bagian dunia arab, seperti Mesir, Suriah, Lebanon dan sebagainya.

Setelah membahas generasi pertama tersebut, Hourani berpindah menjelaskan pemikiran para reformis Islam, yaitu Jamal Al-Din Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Bagi Hourani ketiga pemikir ini adalah sebuah garis lurus yang berhubungan, mengingat hubungan mereka sebagai guru-murid. Al-Afghani adalah guru Abduh, sedang Abduh adalah guru Ridha. Pemikiran ketiganya terutama berupaya menempatkan Islam sebagai respons alamiah terhadap kemajuan barat yang mau tak mau kelak harus dicontoh Dunia Arab. Mereka secara sadar menempatkan bahwa prinsip-prinsip dalam Islam sendiri, tidak bertentangan dengan prinsip kemajuan peradaban barat. Al-Afghani, misalnya sangat sadar bahwa Islam tidak hanya harus dilihat sebagai agama, tetapi juga sebuah peradaban, “sebuah prinsip yang didasarkan pada kecenderungan moral dan intelektual untuk kemajuan sosial, atau peningkatan dalam kekuatan dan kesejahteraan sosial, dan kemnajuan individual, kecakapan manusia, perasaan dan ide-ide” (hal.185). Abduh kurang lebih juga memiliki tujuan yang serupa yaitu “ menunjukkan mengandung pada dirinya kualitas agama rasional” (hal 225). Bahkan Rasyid Ridha berpendapat bahwa penyebab kemunduran muslim adalah karena mereka telah kehilangan kebenaran sejati agamanya (hal.365).

Sebagai sebuah solusi, ketiganya menekankan adanya persatuan dalam dunia Islam. Penekanan yang paling dapat dilakukan yaitu dengan proses kesatuan berbahasa, yaitu bahasa arab serta dengan memahami prinsip-prinsip Islam yang secara alamiah sangat rasional. Bagi mereka kembali kepada kesatuan berbahasa arab, akan membangkitkan semangat kejayaan Islam. Prinsip demokrasi sangat sesuai dengan konsep syura’, konsep keadilan sosial juga terdapat dalam pemaknaan al-adl, konsep nasionalisme tertampung dalam prinsip al-Wathan, sedangkan konsep hubungan kenegaraan juga terdapat dalam prinsip askar dan ra’iyah. Dengan demikian terdapat sebuah penggalian pemahaman yang berasal dari barat, yang disesuaikan atau memang sudah ada menurut prinsip Islam, sebagai sebuah peradaban.

Di samping menunjukkan paralelisme ketiga pemikir ini, Hourani juga menyelingi pembahasan antara ketiganya dengan beberapa murid Abduh. Diantaranya ialah Farid Wajdi, yang mencoba melihat kesamaan Islam dengan modernitas barat. Kemudian Qasim Amin yang mencoba mencari akar-akar pemahaman Islam terhadap emansipasi perempuan. Lalu Luthfi Al-Sayid, yang menerjemahkan nasionalisme Islam bukan sekedar nasionalisme religiusitas, tetapi juga menyangkut kepada nasionalisme tak terbatas kepada setiap manusia yang merasa bagian dari tanah airnya (al-wathan). Dan terpenting diantara para pemikir murid Abduh adalah Ali Abd Al-Raziq, yang menjadi kontroversial setelah ia menerbitkan brosur Al-Khilafah wa Sulthah Al-Ummah. Dalam brosur tersebut Al-Raziq menjelaskan, bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi yang mewajibkan kekuasaan politik sebagai bagian dari syar’i. Dengan kata lain, Al-Raziq menegaskan bahwa system kekhalifahan bukan sebuah kewajiban, tetapi itu hanyalah sebagai sebuah ijtihad dari ummah sebelumnya. Di dalam ijtihad, maka faktor suasana dan kondisi juga menentukan baik-tidaknya sebuah cara dijalankan atau diwariskan.

Untuk melengkapi pemikiran liberal pada Dunia Arab, Hourani juga menjelaskan pemikir Sekuler-Kristen yaitu Syibli Syumayyil dan Farah Anthun. Menjelaskan kedua pemikir ini kiranya menjadi bagian penting, bahwa ternyata perjuangan nasionalisme yang berkembang di Dunia Arab –notabene mayoritas berpenduduk muslim (kecuali Lebanon dan Suriah)- juga mendapat dukungan dari pemikir Kristen. Bahkan mereka merasa, bahwa menjadi kewajaran, jika Islam dijadikan sebagai prinsip yang menyatukan semangat nasionalisme, mengingat kedudukannya sebagai agama mayoritas. Mereka juga sadar, bahwa mereka harus mengabdi kepada kepentingan Dunia Arab beserta perangkat kebudayaannya, bukan kepada dunia barat walaupun mereka beragama Kristen. Secara sadar, gereja mereka juga menggunakan bahasa arab sebagai bahasa ibadah, bukan bahasa latin sebagaimana gereja ortodoks lainnya (kaum Kristen di Arab kebanyakan berpaham Ortodoks, Koptik dan Maronit).

Sebagai penutup, akhirnya Hourani menjelaskan pemikiran Thaha Husain, seorang tokoh terpenting dalam pemikiran liberal. Husain adalah orang yang menegaskan bahwa peradaban Mesir –dan juga Arab- sesungguhnya adalah peradaban barat. Karena selama ini, Mesir mewarisi pola pemikiran filsafat yunani yang rasional, bukan filsafat Timur (Tiongkok?). Husain juga menjadi penting karena ia menolak determinisme atas dasar agama, karena baginya bangsa Mesir adalah setiap orang yang hidup di Mesir, tanpa melihat asal-usul mereka. Keberadaan agama hanya berfungsi untuk memberi ketenangan bagi manusia, dan agama tidak bisa dijadikan pedoman untuk kehidupan politik atau batu pijakan bagi kebijakan nasional: gagasan tentang bangsa harus didefinisikan diluar konteks agama (hal 439-450). Dengan demikian, pemikiran Husain telah menjadi sangat berbeda dengan Al-Thahtawi, Al-Afghani, Abduh, Ridha dan Lutfi Sayid. Faktor kesatuan bahasa arab bagi Husain adalah sebagai pemersatu kebangkitan nasional, bukan kebangkitan agama. Karena bahasa adalah milik peradaban, bukan milik agama tertentu.

humaidi

mahasiswa sekolah pascasarjana FIB_UI

Sumber

Tinggalkan komentar