Menawar Husain

Pada 10 Oktober 680, atau 10 Muharram 61 Hijriah, Husain hanya diakui sebagai pemimpin kharismatik/kultural, tapi bukan pemimpin formal/struktural. Itulah mengapa warga Kufah mudah balik badan dari penyanjung Husain di surat-surat mereka, menjadi pasukan Ubaidillah bin Ziyad yang memerangi Husain. Kita maklum Husain tidak mampu membawa banyak pengikut ke Kufah, yang kemudian terhenti di Karbala, padahal saat itu beliau berada di tengah-tengah jamaah Haji.

Saat rezim sedang kuat-kuatnya dan represif, aksi Husain seperti ulama grassroot yang protes tanpa dukungan kekuatan politik formal, tanpa ekosistem pengusaha, parlemen, dan partai.

Muslim pragmatis berkilah, tidak perlu melawan rezim penindas kalau kalkulasi bakal kalah dan hancur. Ingatlah masih ada anak cucu yang lebih wajib dinafkahi. Yang penting kan masih bisa shalat, tadarus Al-Quran, puasa, naik Haji, juga sedekah anak yatim. Bahkan Ibnu Abbas, pengikut Khalifah Ali dan ikut pedang bersama Khalifah Ali, menasehati Husain agar tinggal di Makkah saja, tidak usah pergi ke Kufah. Sebab Ibnu Abbas tahu konsekuensinya. Tapi Ibnu Abbas tidak bisa membaca “siapa Husain.”

Maka, kalau ada yang mendukung dan ikut Husain ke Kufah sejak Madinah, itu pasti hanya dari keluarga terdekat dan orang-orang yang bisa “melihat Husain dari sudut spiritual”. Sebab mendukung Husain saat itu tidak menguntungkan apa-apa. Berisiko, iya.

Membela yang susah dan tertindas itu naluri makhluk hidup. Anjing bisa belas kasih terhadap sesama anjing. Maka kalau manusia bisa sedekah dan bantu orang susah, itu tidak istimewa. Apalagi kalau perlakuan itu malah menaikkan status sosialnya sebagai dermawan, role model dari crazy rich soleh. Dalam hal kepiawaian menjilat, anjing harus belajar sama manusia. 

Tapi pengikut Husain sampai hari terakhir ke Karbala, tinggalkan semua aset, posisi politik, dan status istimewa di masyarakat, demi gadai nyawa. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang gila. Secara harfiah. Sebab secara soaial, tidak ada orang waras yang mendukungnya. 

Kalau kita tidak tersentuh dengan rakyat yang berdarah-darah menjaga tanahnya dari serobotan korporasi -setidaknya kita mengikuti ulama yang berdiri di belakang orang-orang yang lemah dan tertindas-, maka kita sebenarnya adalah Syi’ah Kufah yang berdalih perlu berdiri di belakang Yazid, dengan alasan “Demi menjaga kelangsungan komunitas Ahlulbait.” Faktanya, itu untuk kepentingan pribadinya, demi gaya hidupnya sedangkan komunitas yang diklaim cuma dapat remah-remah dari kemakmurannya.

Siapa yang konsisten menolak IKN yang hanya klop untuk kapital dengan korbankan alam (menurut kaum degrowth, eco-socialist), melawan alih fungsi hutan dari sawitisasi, memakmurkan masyarakat di sekitarnya, bela tanah rakyat tanpa embel-embel dan kalkulasi politik, berpeluh membangun sistem jaring pengaman sosial agar mayoritas muslim Indonesia yang miskin selamat dari resesi? Mungkin, dialah pengikut Husain yang sejati. [Andito]

Catatan: Tulisan di atas terinspirasi tulisan Murtadha Muthahhari:

Biasanya, selama amar makruf nahi munkar tidak menyebabkan timbulnya bahaya, maka banyak yang mau melakukannya. Akan tetapi ketika diketahui bahwa usaha tersebut akan membawa kerugian untuk orang yang melakukannya, maka sebagian orang berkata, “Usaha kita cukup sampai di sini, kita tidak bisa meneruskannya.” Maksudnya, karena amar makruf tersebut akan menimbulkan bahaya, maka hentikan saja sampai di sini: kita tidak usah melakukannya. Pemahaman seperti inilah yang menurunkan nilai amar makruf nahi munkar yang sejatinya.

Tetapi orang-orang yang mengerti hakikat amar makruf nahi munkar akan berkata, “Tidak, tidak seperti itu.” Jika yang kita perjuangkan dengan amar makruf nahi munkar adalah sesuatu yang sederhana, maka dengan adanya kemungkinan bahaya, kewajiban itu bisa kita tinggalkan. Akan tetapi, jika usaha itu dalam rangka misalnya, menjaga kehormatan Alquran, keadilan, persatuan Muslimin, atau lain sebagainya, maka apa pun risikonya kita harus bersedia menanggung. Kita tidak boleh berkata, “Aku tidak ingin melakukannya. Karena jika aku lakukan, maka nyawaku akan terancam, atau aku kehilangan muka atau tidak disukai banyak orang…”

Oleh karenanya, ketika amar makruf nahi munkar berkaitan dengan hal-hal yang besar, maka ia tidak mengenal batas, meskipun bahaya yang menjadi risikonya adalah besar. Inilah yang kami maksudkan bahwa Imam Husain as telah menunjukkan nilai amar makruf nahi munkar yang sebenarnya. Ia tidak hanya mengorbankan nyawanya, bahkan keluarga dan para sahabatnya. Dari apa yang dilakukan beliau, kita dapat memahami bahwa jika amar makruf nahi munkar berkaitan dengan sesuatu yang besar dan sangat penting, maka kita tetap wajib melakukannya dan kita juga harus menanggung bahaya sebagai resikonya. 

(Sumber: Sayyid Ibrahim Husaini, dkk, “Pusparagam Asyura: Soal-Jawab Isu-isu Muharram”, Nur Al-Huda, Januari 2022, h. 83-84)

Belajar Komitmen dan Konsisten dari Rudhy Suharto

Rambutnya relatif gondrong, kacamatanya tebal, pakaiannya sederhana, tidak mahal. Tampilan terkesan jadoel. Begitulah kesan pertama saat kita bertemu Rudhy Suharto. Mungkin begitulah pembawaan orang cerdas. Pria yang lahir pada 5 April 1968 ini siswa IPA di SMA Negeri 1 Jakarta, yang dikenal dengan nama Boedoet 1 karena berlokasi di Jalan Boedi Oetomo No. 7.

Dakwah di Rohis

Rudhy haus pengetahuan keagamaan. Semasa sekolah ia mencari kebenaran dengan mengikuti berbagai gerakan Islam. Ia datangi Isa Bugis, NII, Islam Jamaah (LDII), Tarbiyah, Ahmadiyah, sampai akhirnya hatinya tertambat di mazhab Ahlulbait saat ia aktif di Rohis (Kerohanian Islam) SMAN 1 Jakarta. Masa itu islamisme sedang menggelora. Salah satu puncaknya, tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984. Rudhy tentu ikut merasakan suasana saat itu. Di Rohis, wahabisme sedang mendominasi.

Rudhy dan pengurus Rohis lainnya Kukuh Sulastyoko berinisiatif membuat pengaderan Ahlulbait di lingkungan Rohis. Dia kontak para senior, alumni Rohis, yang rata-rata aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Jakarta. Setelah lulus, Rudhy dan Kukuh masuk fakultas MIPA Universitas Indonesia.

Ari Bramono, senior Rudhy di SMAN 1 Jakarta, bercerita, “Pengaderan Ahlulbait dilakukan pertama kali di rumah salah satu anggota Rohis putri, anak seorang pamen TNI AD di wilayah Condet selama tiga hari dari pagi sampai sore tanpa bermalam. Materinya tentang konsep dan pemikiran Ahlulbait.” Hasilnya, Rohis terbelah dua, sebagian ikut pemikiran Ahlulbait dan yang lain tetap pada Wahabisme.

Rudhy tidak berhenti di situ. Dia selenggarakan pendidikan tindak lanjut untuk para anggota Rohis yang sudah berpaham Ahlulbait di Mega Mendung, Jawa Barat. “Kami tetap mendampingi dan membimbing pengaderan tersebut yang dimotori oleh Rudhy hingga terbentuklah kader Ahlulbait lulusan SMA Negeri 1 Jakarta yang dibanggakan.” Tutur Ari.

Dialektika di HMI

Rudhy masuk Jurusan Matematika, Universitas Indonesia. Semasa kuliah Rudhy aktif di Warta UI sebagai wartawan dan masuk HMI. Iklim keterbukaan dan tradisi diskusi di HMI membuatnya meningkatkan gairahnya mencari ilmu. Mujtahid, direktur Voice of Palestine, mengenang, “Kami sering berkumpul di sekretariat HMI Cabang Depok setiap Sabtu malam minggu. Karena hanya hari itu kuliah libur.”

Konsistensi RS pada nilai-nilai kebenaran tidak pudar. Rudhy berusaha menjaga diri dari hal-hal yang tidak berguna. Contohnya, biasanya sebagian aktivis HMI, selain diskusi pada Sabtu malam, juga menyempatkan diri nonton film midnight. Pulangnya tidur di sekretariat HMI. Rudhy yang melihat itu, memberikan nasehat. Katanya, meskipun nonton film tidak dosa, seorang aktivis hendaknya menghindari hal-hal yang tidak fokus ke gerakan dan pemikiran.

Rudhy juga ikut kajian Kelompok Studi Abu Dzar yang didirikan oleh teman-teman mahasiswa UI pada tahun 1989. Di HMI Cabang Depok, Rudhy menjabat Ketua Bidang Pembinaan Anggota pada periode Kukuh Sulastyoko (MIPA) dan Syaiful Bahri (Gunadarma). Pada 1995, HMI Cabang Depok terpecah dua karena isu sektarian yang lebih bermotif politik. Kawan-kawan pengkaji Ahlulbait mendirikan HMI Cabang Depok yang dikenal sebagai HMI Mahali karena menempati rumah kontrakan di jalan Mahali No. 16. Pada masa itu, RS didapuk menjadi Ketua Yayasan Mahali Sehati,

Suatu ketika, rombongan pengurus HMI Cabang Depok menghadiri Kongres HMI ke-20 di Surabaya pada 1995. Untuk menghemat biaya, panitia menggunakan angkutan umum sambung menyambung. Praktis, hampir 24 jam perjalanan dari Depok ke Asrama Haji Sukalilo, Surabaya. Dua orang pimpinan rombongan, tanpa setahu yang lain, makan di restoran mewah menghabiskan biaya Rp7.000. Sebagai perbandingan, waktu itu, makan nasi dengan lauk lengkap tidak sampai Rp500. Mereka berdua juga pulang ke Jakarta naik kereta eksekutif, sedangkan kawan-kawan yang lain naik kelas ekonomi. Alasannya, karena besok harus ujian.

Ketika keuangan kegiatan tersebut dilaporkan, Rudhy marah. Ia mempertanyakan mengapa harus makan dan naik kereta yang mahal. Katanya, kita tidak boleh menghambur-hamburkan dana umat. Meskipun pimpinan rombongan yang mencari dana, tetap saja peruntukannya untuk rombongan. “Intinya, penggunaan dana umat harus dipertanggungjawabkan.” Ini membuat Mujtahid terkesan.

Pengaruh Rudhy di pengaderan HMI Depok cukup terasa. Ia membawakan materi ideologi HMI, Nilai Identitas Kader, di peserta Latihan Kader 1 (LK1, Basic Training). Hartawan Hari Permadi, menuturkan pengalamannya saat ia dan Agung Dwi Hardiyanto menjadi peserta LK1 pada pertengahan 1996. Rudhy masuk ke ruangan berperan sebagai ateis yang menggugat keberadaan dan keadilan Tuhan yang membuatnya susah karena dompetnya hilang. Drama ini merupakan awal dari dialog Ketuhanan, sebuah materi paling menarik dalam pengaderan HMI. Banyak pemikiran peserta terbongkar karena selama ini mereka menjalankan agama sebagaimana yang diajarkan lingkungannya tanpa diajak berpikir kritis.

Dunia jurnalistik

Ketrampilan menulis yang ia asah sejak di Warta UI (1989-1992) sangat berguna saat ia bergabung di Islamic Center Jakarta, cikal bakal Islamic Cultural Center, pada tahun 2000-an. Kantornya di Tebet Barat II No. 8, Jakarta.

RS berseloroh, bahwa ia bisa membuat buku karena terpaksa. Awalnya, ia dapat tugas sebagai koordinator buletin Jumat. Rencananya konten tabloid ditulis bergilir antara staf ICJ. Ternyata satu demi satu staf mundur karena alasan pekerjaan dan lain hal. Akhirnya dia menulis buletin Jumat sendiri setiap minggu yang akhirnya menjadi dua buku Renungan Jumat.

Di SMAN 1 Jakarta, Rudhy berteman dengan Ahmad Mughira Nurhani, anak dari Ahmad Nurhani, senior HMI Cabang Bandung. Mughi menempatkan Rudhy sebagai general manager di penerbit Intermasa. Tidak lama, Ahmad Nurhani yang memiliki Tabloid Jum’at, media internal mingguan Dewan Masjid Indonesia, juga meminta Rudhy mengawal penerbitan tabloid tersebut. Selama aktivitas tersebut, Rudhy menulis beberapa artikel tentang Ahlulbait, ulama Iran yang berkunjung ke Indonesia, dan dialog antarmazhab. Hal ini sempat membikin gerah pengurus DMI yang intoleran. Tapi isu tersebut berhasil diredam.

Rudhy menjadi kontributor Harian Pelita melalui (Alm.) Mahya Ramdhani, yuniornya di HMI Depok. Menulis rutin kolom di Pelita juga “tidak disengaja”. Awalnya, ia mengawal kolom tasawuf KH. Jalaluddin Rakhmat. Karena aktivitas yang padat, beliau tidak bisa mengirim tulisan pada waktunya. Terpaksa Rudhy menggantikannya menulis. Ternyata keterusan. Suatu hari, Ust. Jalal melihat tulisan Rudhy, “Bagus. Kamu saja yang menulis menggantikan saya.” Sejak itu Rudhy pengisi tetap kolom di Harian Pelita. Setelah sempat menjabat sebagai pemimpin redaksi, Harian Pelita cetak tutup 2018 dan beralih menjadi versi online menjadi harianpelita.co dengan RS sebagai pemimpin umum.

Rudhy terkenal ketat dan rewel jika sudah menyangkut konten dan manajemen penerbitan. RS bisa menyisir per halaman untuk memastikan apakah isi dan desainnya sudah sesuai dengan rencana. Ia banyak membantu dalam menyusun konsep dan desain majalah SYI’AR saat dimunculkan kembali (reborn) pada 2018.

Berkat konsistensi menulis kolom setiap minggu, Rudhy telah melahirkan beberapa buku, yaitu Renungan Jumat: Penyuluh Akhlaqul Karimah (2002), Renungan Jumat 2 (2004), Revolusi Ruhani: Refleksi Tasawuf Pembebasan (2006), Dari Jalan Tuhan, Meraih Bahagia (2020), Pengantar Ilmu dan Pemikiran Islam (2021). Menurut informasi, sebelum meninggal, Rudhy baru saja menyelesaikan buku soal kematian.

Penggiat taklim

Sejak SMA, Rudhy suka keliling majlis taklim. Salah satunya adalah Majlis Doa Nabi Khidir setiap Kamis malam, yang diasuh oleh dr. Hasan Arifin di Cempaka Putih. Rudhy dan Kukuh ikut majlis Kamis malam tersebut, meskipun tidak kontinyu karena mereka masuk sekolah pada hari Jumat-nya.

Cerita Mulyawan, Rudhy suka hadiri majlis-majlis taklim, meskipun dengan kondisi sakit dan beberapa kali pindah angkutan umum. Rudhy sering hadir di pengajian Ust. Jalal di Kalibata dan di Cibubur. Jika Ust. Jalal tidak ada, maka Rudhy biasanya diminta menggantikan kajian dengan tema lain.

Khalid al-Walid bersaksi, setiap pertemuan dengan Rudhy selalu diiringi dengan diskusi. Menurutnya, tanggapan-tanggapannya cukup mendalam dan tajam.

Integritas diri

Fauzan Jamil, aktivis IJABI Bekasi, punya kesan tersendiri dengan Rudhy. Menurutnya Rudhy, “Orangnya ideologis dalam organisasi. Ia berkali-kali bicara bahwa kita harus membangun kader yang punya nilai ideologis. Itu syarat membangun organisasi. Untuk itu kita harus serius dalam penyediaan sekretariat yang layak dengan aktivitas administrasi.” Untuk menjaga independensi, Rudhy mengajak Fauzan bisnis penerbitan. “Saya jadi tahu menghitung biaya produksi penerbitan buku.” Kata Fauzan.

Rudhy tidak suka mendengar orang mengeluh jika dia rasa orang itu punya kemampuan mengubahnya. Suatu saat ada karyawan yang curhat tentang sistem di kantornya yang menurutnya buruk. Rudhy langsung menjawab, “Jika tidak terima, keluar saja. Di tempat lain, karyawan bekerja pada jam kerja dan tidak bisa diganggu. Kamu bisa kesana kemari gosipin kantor. Kalau kamu kerja di tempat kerja yang profesional, kamu gak bisa leyeh-leyeh seperti sekarang ini.”

Karakter Rudhy yang rasional dan tidak basa basi memang menonjol. Jika Rudhy tidak setuju satu ide, maka ia akan memberikan sanggahan dan perbandingan.

Rudhy menjaga diri agar akalnya selalu mendominasi syahwatnya. Rudhy tidak suka ngobrol atau bercanda yang tidak ada gunanya. Saat sedang ngobrol, jika tiba-tiba ada yang bercanda bernada seksisme, biasanya dia ngomel, buang muka, lalu pergi.

Ahmad Rifai, mantan rekan satu kantor Rudhy mengenang. Pada awal 2000-an ia pernah menjadi anggota pemasaran berjenjang (multi level marketing, MLM) produk herbal dengan bahan baku madu. Untuk menjaring anggota baru, ia membuat undangan yang di dalamnya tertulis kutipan: “Hanya orang sukses yang dapat membahagiakan orang-orang yang dicintainya.” Rudhy yang sempat membacanya, mengkritik.

Menurut Rudhy, kesuksesan tidak bisa diukur dengan banyak harta atau kemampuan memenuhi kebutuhan material. Sukses menurut Islam, dalam pemahamannya, tidak harus bersifat material. Kesuksesan bisa berupa kemampuan mengaktualisasi diri, menjalankan hidup sesuai tuntunan agama, dan melayani dan membahagiakan orang lain. Membahagiakan orang lain, tidak harus dengan jalan memberikan materi.

Tidak lama, Rudhy menjadikan bahan kritiknya sebagai buku kecil suvenir pernikahannya. Judulnya, “Sukses yang Membahagiakan”. Oiya, Rudhy tidak pernah tertarik dan ikut MLM.

Rudhy sangat menjunjung komitmen. Dia pernah dinasehati seorang pengusaha. Bahwa jika kita sudah melakukan deal, selesaikan dulu bisnis tersebut. Masalah harganya ternyata kemahalan, itu akan menjadi catatan. Tapi kita tidak boleh menciderai komitmen.

Taufik Hadad, pemilik sebuah penerbitan, bersaksi, “Rudhy ini istimewa. Ia sangat cinta media. Seperti sebuah panggilan. Sangat jarang kita temukan orang dengan kondisi kesehatan yang buruk, masih melakoni pekerjaannya.” Taufik bertemu RS di Karbala pada 2019. Mereka beda rombongan. Taufik kaget, Rudhy berangkat dari rute yang jika dilihat kondisinya saat itu yang sudah tidak sehat, tidak mungkin.

Budiyono, arsitek, memberikan kesaksian positif. Katanya, “Rudhy dalam diskusi agama senang mengkritik lawan bicaranya tapi tidak menjatuhkan, hanya sekadar meluruskan. Pernah saya kirim prosa liris ke majalah SYI’AR. Sebelum dimuat, ia kritisi dan memberikan beberapa pandangan. Saya persilakan Rudhy langsung mengubahnya. Dan ternyata hasilnya memang lebih bagus.”

“Bagi yang pertama kali mendengar dia berbicara, mungkin rada malas mendengarnya karena retorikanya tidak menarik. Tapi jika kita mencermati uraiannya, omongannya terkonsep, tidak ngelantur. Oleh karena itu, dalam rapat-rapat yayasan yang kami dan Rudhy dirikan, Rudhy sering terlibat sebagai konseptor.” Aku Budi.

Budi pernah mengomentari kehidupan Rudhy yang bersahaja, mengapa tidak mencari profesi lain agar hidup lebih sejahtera. Rudhy menjawab, bahwa “Gerakan budaya (maksudnya, dakwah) itu kering, jalan yang sepi, sebab memang tidak ada uangnya.”

Budi menambahkan, “Rudhy itu, karena pembawaannya yang low profile, mungkin tidak banyak dikenal orang. Tapi jika kita tahu kiprahnya sejak SMA, kita tidak ragu bahwa Rudhy adalah salah satu aktivis awal dari gerakan Ahlulbait di Jakarta.” Budiyono berharap, “Semoga karya-karya beliau dan aktifitasnya yang tidak kenal lelah menjadi bekal yang menyempurnakan kekurangan-kekurangan hidupnya.”

Kepergian

Rudhy wafat pada Senin siang 1 November 2021 di rumahnya, Kampung Kelapa Dua, Jl. Haji Umar No. 34, RT 7 RW 11, Tugu, Cimanggis, Depok. Sosok bersahaja itu menyerah akibat komplikasi penyakit ginjal, jantung, dan hipertensi. Sebelumnya ia pernah dioperasi jantung di RS Harapan Kita, Jakarta. Seharusnya ia operasi kedua. Tapi karena tekanan darahnya tidak stabil maka operasi kedua tersebut ditunda. Dasar Rudhy pekerja keras, ia masih sempat mengecek pekerjaan dan mengatur dateline tulisan di atas ranjang rumah sakit.

Rudhy dimakamkan pada Selasa 2/11/2021 pukul 09.30 – 10.30 WIB di TPU Griya Tugu Asri, Jl. RTM, Kelapa Dua, Depok. Dia dimakamkan satu liang dengan ayahnya, Bapak Subarkah. Beliau meninggalkan istri dan tiga anak yang masih duduk di bangku SMA, SD dan balita 4 tahun.

Arif Mulyadi menceritakan pertemuan terakhirnya dengan Almarhum pada tahlil hari ketujuh ibunya Andito di Bekasi. “Dia bilang kepada kami bahwa dia ingin pindah ke rumah yang lebih besar. Tentu saja aku bersyukur karena dengan begitu, asumsiku dia sudah sukses. Tapi rupanya itu kode bahwa dia akan pindah ke alam baka.”

Pada malam tahlil Rudhy yang diadakan online melalui Zoom, Ust. Khalid al-Walid membaca potongan syair Rumi: Jangan kau tangisi kepergianku. Kematianku adalah malam pengantin bagiku, karena berjumpa dengan Kekasihku..

Semoga Almarhum berkumpul dengan para kekasih Allah SWT. Al-Fatihah dan shalawat. [Andito Suwignyo]

Kami berduka untuk Ipda Erwin Yudha Wildani

Ipda Erwin Yudha Wildani wafat pada hari ini, Senin 26/8/19, 01:38 WIB, di RS Pusat Pertamina.

Sebelumnya Almarhum menderita luka bakar saat mengawal aksi mahasiswa di Cianjur (15/8/19).

Semoga Allah SWT himpun Almarhum bersama Rasulullah saw. Mohon baca Al-Fatihah & shalawat.

Diskusi “Dampak Perang Dagang Amerika – China Terhadap Indonesia” (26/8/19)

Diskusi Terbuka “Dampak Perang Dagang Amerika – China Terhadap Indonesia”

Pembicara:

  1. Abdul Aziz Hasyim Wahid (pemerhati politik ekonomi)
  2. Arief Taufiqur Rochman (Kandidat Doktor Wuhan University, RRT)
  3. Taufik Hidayadi (Alumni Fellow Students di Jinan University, RRT)

Waktu : Senin, 26 Agustus 2019, Pukul 17.30 WIB

Tempat : Tebet Barat 1 No. 21-A, Tebet, Jakarta Selatan

Penyelenggara : FMNU (Front Mahasiswa Nahdlatul Ulama)

Spiritualitas Jawara

Namanya Ujang, bekerja di pelabuhan Tanjung Priok. Dia dikenal sebagai jawara, menang keturunan jawara, terutama dari garis uwaknya, kakaknya ibu. Uwak jago pengobatan patah tulang tapi tidak suka dipublikasikan, tidak mau pasang tarif. Uwak punya perguruan silat. Seperti leluhurnya yang berasal dari Cianjur Selatan, suka melanglang buana mencari ilmu kedigdayaan. Kehidupan di dunia persilatan, datangi yang jago untuk dites. Kalau kalah, ikut berguru.

(lebih…)

Pesan “Bumi Manusia”

Saya baru saja nonton “Bumi Manusia” karya Hanung Bramantyo. Film ini bagus banget, natural, dengan bahasa Belanda, Perancis, Jawa, Melayu, Madura sesuai peran setiap tokoh. Film ini sangat layak ditonton oleh anak milenial yang tak biasa baca roman tebal, belum kenal Pramoedya Ananta Toer, atau tidak tahu sejarah pergerakan bangsa. (lebih…)

Peranan Tata Kelola di Era Digital

Merupakan sebuah fakta yang harus dihadapi saat ini, bahwa era digital memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap perusahaan dalam menjalankan bisnisnya.  Aset digital, baik berupa data transaksi dan segala bentuk data lainnya yang mengandung text, serta multimedia, diproduksi dan digunakan secara masif setiap harinya dalam kegiatan bisnis perusahaan. Pembahasan mengenai aset digital ini tentunya tidak dapat terlepas dari pengelolaan Teknologi Informasi (TI) baik pada area infrastruktur berupa perangkat lunak dan perangkat keras, proses, dan sumber daya manusia, dalam rangka menunjang pengelolaannya. (lebih…)

Ekspansionisme Digital Vs Proteksionisme Digital

europe-and-the-internet-its-complicated-29-638“Kita sudah memiliki internet. Perusahaan- perusahaan kitalah yang menciptakan, mengembangkan, dan menyempurnakannya. Perusahaan-perusahaan Eropa, seperti yang Saudara tahu, tak dapat berkompetisi dengan internet kita, sedang mencoba membangun jalan pengadang.”

Demikian The Financial Times edisi 16 Februari 2016 mengutip Presiden Barack Obama menanggapi sikap Uni Eropa yang ramai- ramai memblokade ekspansi bisnis korporasi digital Lembah Silikon California. (lebih…)